‘Another Brick in the Wall Part II’ Mestinya Jadi Lagu Wajib Hardiknas

by | May 2, 2023

Hardiknas | Pendidikan | Pink Floyd

FOMOMEDIA – Pendidikan yang kaku dan monoton sudah tidak relevan tetapi masih dipraktikkan secara luas di Indonesia. Maka, ‘Another Brick in the Wall Part II’ karya Pink Floyd pun harus senantiasa diperdengarkan.

We don’t need no education

We don’t need no thought control

No dark sarcasm in the classroom

Teacher, leave them kids alone

Penggalan lirik di atas diambil dari lagu bertajuk Another Brick in the Wall Part II karya Pink Floyd. Sudah lebih dari empat dekade sejak lagu itu dirilis. Akan tetapi, relevansinya belum juga pudar, apalagi jika kita bicara soal pendidikan di Indonesia.

Tiap 2 Mei, Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tanggal ini sendiri merupakan hari lahir tokoh yang disebut sebagai Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara. Namun, alih-alih jadi momen perayaan, Hardiknas acap menjadi hari di mana dunia pendidikan Indonesia harus melakukan otokritik.

Lagu Another Brick in the Wall Part II tadi sangat relevan dengan dunia pendidikan Indonesia karena syairnya kurang lebih menggambarkan apa yang terjadi di ruang-ruang kelas negeri ini. Pendidikan yang kaku, alot, dan monoton masih jadi barang lumrah di Indonesia.

Adalah Roger Waters, eks pembetot bas Pink Floyd, yang menjadi otak di balik lagu Another Brick in the Wall Part II tersebut. Waters sendiri gak sembarangan bicara karena apa yang dia tulis dalam lagu tersebut didasarkan pada pengalamannya sendiri kala bersekolah di Cambridgeshire High School for Boys.

Dikutip dari songfacts.com, Waters disebut sangat membenci guru-guru di Cambridgeshire High School for Boys tadi. Sebab, menurut sosok yang dikenal keras menolak eksistensi Israel itu, guru-guru yang mengampunya dulu kelewat otoriter.

Berangkat dari sana, Waters jadi punya opini tak kalah keras terhadap pendidikan formal yang membatasi siswa-siswa untuk belajar banyak hal. Pria kelahiran 6 September 1943 tersebut merasa, praktik pengajaran yang dilakukan guru dengan gaya penyampaiannya yang searah membuat para siswa untuk cenderung diam.

Selain itu, adanya sekat-sekat ruang kelas juga menjadi representasi betapa pendidikan sangat dikekang dalam sebuah ruangan. Bukannya jadi patuh, hal itu malah membuat Waters jadi sosok pemberontak.

“Anda tidak dapat menemukan siapa pun di dunia yang lebih pro-pendidikan daripada saya. Tetapi, pendidikan yang saya lalui di sekolah dengan tata bahasa anak laki-laki pada tahun 50-an sangat mengontrol dan menuntut pemberontakan,” kata Waters.

Lagu yang rilis pada tahun 1979 itu merupakan bagian ketiga dari album The Wall. Dengan tema tembok, Pink Floyd menginterpretasikan tembok sebagai suatu usaha seseorang yang sudah mapan untuk melindungi dirinya sendiri.

Pada Another Brick in the Wall Part II  yang sudah banyak didengarkan di berbagai platform itu, Pink Floyd melontarkan kritik tajam bagi pemerintah yang abai terhadap dunia pendidikan. Dengan menghadirkan suara anak-anak yang ikut bernyanyi, syair lagu itu jadi begitu bertenaga dan terasa hidup.

Sebenarnya, di Indonesia sendiri, upaya untuk membebaskan para siswa untuk belajar sesuai minat dan kemampuan sudah dimulai oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim melalui program Merdeka Belajar. Pada prinsipnya, Merdeka Belajar memungkinkan para siswa untuk mengejar cita-cita mereka dari usia sedini mungkin.

Praktik dari Merdeka Belajar ini sendiri masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Mulai dari soal kompetensi guru, akses informasi, sampai kesiapan siswa-siswa itu sendiri. Akan tetapi, kalau tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi?

Penulis: Sunardi

BAGIKAN :

ARTIKEL LAINNYA

KOMENTAR

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

[…] bahwa kegiatan tersebut bisa memberatkan orang tua siswa. Bahkan, menurut Ubaid, jika ada sekolah yang meminta sumbangan untuk acara wisuda, maka hal itu merupakan bentuk […]