FOMOMEDIA – Seperti kripto, AI membutuhkan energi besar untuk pengoperasian. Dengan kata lain, AI juga tidak ramah lingkungan.
Kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) memang semakin populer dewasa ini. Banyak perusahaan raksasa teknologi yang berlomba-lomba untuk menciptakan dan mengembangkan AI.
Selain menjadi representasi perkembangan kecanggihan teknologi kiwari, kehadiran AI juga menjadi ancaman para pekerja. Mulai dari pekerja di sektor hukum, kesehatan, keuangan, bahkan industri kreatif seperti para penulis serta para seniman.
Gelombang protes terhadap kebijakan penggunaan AI yang bertanggung jawab pun semakin masif digalakkan. Seperti bentuk protes yang dilakukan oleh serikat aktor dan penulis Hollywood misalnya. Mereka melakukan aksi mogok sejak pertengahan Juli 2023 lalu dan belum berakhir hingga sekarang.
Kini, AI tak hanya mengancam manusia melalui beberapa sektor pekerjaan itu, tapi ada bahaya laten lainnya yang mengancam: kerusakan lingkungan.
AI Butuh Energi
Baru-baru ini laporan The Guardian menyoroti masalah penggunaan AI yang tak bisa lepas dari peran-peran teknologi lainnya. Seperti halnya yang digunakan oleh teknologi cryptocurrency dalam beberapa tahun terakhir misalnya.
Koin digital tersebut telah menunjukkan bahwa penggunaan teknologi cryptocurrency tidak bisa menggunakan ruang hampa. Butuh energi besar untuk mengoperasikan teknologi tersebut.
Proses menambang kripto, misalnya, butuh perangkat keras berbiaya biaya mahal. Selain itu, mesin-mesin seperti Graphics Processing Units (GPU) bertenaga tinggi juga menyedot listrik yang besar.
Seperti salah satu jenis koin yang paling populer saat ini, Bitcoin. Koin berkode BTC itu pada tahun 2021 bisa menyedot 32 tera watt energi tiap tahunnya. Data dari laporan Digiconomist menyebut bahwa angka tersebut cukup untuk energi tiga juta rumah di Amerika Serikat.
AI Juga Tidak Ramah Lingkungan
Masih menukil laporan The Guardian, penggunaan AI generatif juga ditenagai oleh GPU. Keberadaan GPU dalam menjalankan AI memiliki peran penting dalam menangani miliaran kalkulasi per detik yang diperlukan untuk menjalankan ChatGPT atau Google Bard.
“Pada dasarnya, jika Anda ingin menyelamatkan planet ini dengan AI, Anda juga harus mempertimbangkan jejak lingkungan [dari AI terlebih dahulu],” kata Sasha Luccioni, seorang peneliti AI berkelanjutan yang berbasis di Hugging Face, dikutip dari The Guardian.
“Tidak masuk akal untuk membakar hutan dan kemudian menggunakan AI untuk melacak deforestasi,” lanjutnya.
AI, sama seperti teknologi cryptocurrency, harus ada pembicaraan lebih lanjut terkait dampak lingkungan yang dihasilkan. Peran para perusahaan pengembang AI dituntut untuk lebih aktif menyikapi permasalahan ini.
Beberapa ahli sekarang telah berusaha untuk menemukan cara mempertahankan AI tanpa menggunakan energi yang besar. Namun, hal tersebut terasa sulit untuk dicapai.
Lalu, apakah AI bisa lebih ramah terhadap lingkungan? Mari kita nantikan!
Penulis: Sunardi
Editor: Yoga
Ilustrator: Vito