Tentang Carlin dan Pemilu: Masyarakat Sampah Hasilkan Pemimpin Sampah

by | Nov 23, 2023

Pemilu | Politik

FOMOMEDIABukankah seorang pemimpin berasal dari masyarakat? Lantas, jika pemimpin itu busuk, apakah kualitas masyarakat itu juga buruk?

Ketika seorang kawan memperkenalkan nama George Carlin kepada saya, secara hiperbolik, dia menyebut sosok komedian tersebut sebagai “nabi”. Alasan dia: Karena “ajaran-ajaran” Carlin abadi, tak lekang oleh waktu, tak lebur digilas zaman.

Ajaran-ajaran itu, tentu saja, adalah candaan yang dia lontarkan di atas panggung. Dan Carlin selalu bicara banyak. Dalam sebuah pertunjukan yang durasinya rata-rata satu jam, dia bisa mengaver banyak sekali topik. Mulai dari frasa yang menghina logika sampai gaya berpakaian manusia-manusia paling menjengkelkan di Amerika.

Namun, satu hal yang tak pernah dilupakan Carlin adalah politik. Ya, politik memang spesialisasi Carlin. Bahkan, kita bisa menyebutnya sebagai seorang pakar karena, dalam beberapa kesempatan, pria yang mengaku “pernah menjadi Katolik sampai mendapat pencerahan” itu pun pernah diundang ke forum-forum serius. Salah satunya National Press Club di Gedung Putih.

Politisi Brengsek Datang dari Mana?

Bicara soal Carlin dan politik, berarti kita harus bicara soal pertunjukan komedi tunggalnya (stand up comedy) dari tahun 1996 bertajuk Back in Town. Dalam salah satu bagian show tersebut, Carlin menyinggung soal kebencian rakyat terhadap politisi.

“Ada satu hal yang tidak pernah kukeluhkan, yaitu politisi,” kata Carlin. “Orang selalu bilang ‘politisi berengsek’, ‘politisi busuk’. Memang kalian pikir dari mana datangnya para politisi itu?”

“Mereka tidak jatuh dari langit. Tidak datang dari dunia lain. Mereka datang dari orang tua Amerika, keluarga Amerika, rumah-rumah Amerika, sekolah-sekolah Amerika, gereja-gereja Amerika, bisnis-bisnis Amerika, dan universitas Amerika, dan mereka semua dipilih oleh orang Amerika.”

“Orang-orang itu adalah ‘yang terbaik’ dari kita, teman-teman. Ini adalah produk ‘terbaik’ dari sistem kita. Kalau asalnya dari sampah, hasilnya juga sampah. Kalau masyarakatnya bodoh dan egois, pemimpinnya juga pasti bodoh dan egois. Jadi mungkin nih, ya, mungkin, yang berengsek bukan politisinya, tapi masyarakatnya!” kata Carlin.

Candaan itu disampaikan Carlin dengan mimik muka jijik, seakan-akan dia sedang mencium bau sampah betulan. Dan dalam waktu kurang dari satu setengah menit, Carlin mampu menjelaskan apa yang dulu susah payah ditulis Alexis de Tocqueville dalam buku-bukunya tentang demokrasi.

De Tocqueville sendiri, yang hidup dari 1805-1859, suatu kali pernah berkata seperti ini: “Dalam demokrasi, masyarakat akan mendapatkan pemimpin yang mereka pantas dapatkan.”

Artinya, kebenaran yang disampaikan Carlin pada 1996 itu adalah kebenaran abadi. Sebab, ia tak cuma berlaku pada masa ketika De Tocqueville dan Carlin masih hidup (Carlin wafat tahun 2008, red.), tetapi juga sampai saat ini. Demokrasi, yang secara etimologis berarti pemerintahan (kratos) rakyat (demos), akan gagal menghasilkan pemerintahan berkualitas ketika rakyatnya sendiri tidak berkualitas.

Konteks Indonesia

14 Februari 2024, lebih dari 200 juta penduduk Indonesia akan “menikmati” hak pilihnya. Dari jumlah sekian, 52%-nya adalah anak muda berusia 17 hingga 40 tahun. Yang jadi soal, tingkat kepercayaan anak muda terhadap politisi, serta lembaga-lembaga yang berisikan para politisi, saat ini sangatlah rendah.

BACA JUGA:

Menurut temuan Indikator Politik Indonesia yang dirilis April 2022, cuma ada 25,7% anak muda yang mengaku puas dengan kinerja politisi. Adapun penyebab utama dari ketidakpuasan ini adalah karena “para politisi tidak mendengarkan aspirasi masyarakat” dengan persentase 64,7%.

Sebenarnya, tingginya angka ketidakpercayaan ini bisa dipandang sebagai hal positif. Artinya, orang-orang Indonesia, khususnya anak muda, cukup kritis. Mereka melihat ada yang tidak beres dengan pemerintahan yang ada sehingga kemudian muncul rasa tidak percaya itu.

Maraknya kasus korupsi, pencanangan undang-undang yang dianggap merugikan, pemaksaan kebijakan yang tidak populer, sampai buruknya sikap para politisi membuat kepercayaan masyarakat hilang. Inilah mengapa “tidak mendengarkan aspirasi” jadi alasan paling dominan.

Lantas, dari situ, apakah kata-kata De Tocqueville dan Carlin tadi relevan dengan apa yang sedang terjadi di Indonesia? Kamu mungkin akan kecewa, tetapi jawabannya adalah ya. Mengapa bisa demikian?

Pertama, kecerdasan bukan segalanya. Mungkin, tingkat kecerdasan orang Indonesia sudah meningkat—meski masih tergolong rendah, tetapi kualitas karakter manusianya belum mengalami perbaikan. Soal ini, pada 1977, Mochtar Lubis pernah menyampaikan kegeramannya dalam sebuah pidato di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Kata Mochtar, ada enam ciri masyarakat Indonesia, yaitu munafik atau hipokrit, enggan bertanggung jawab, berperilaku feodal, percaya takhayul, artistik, dan berkarakter lemah. Bisa dibilang, dari enam ciri tersebut, hanya satu yang punya sentimen positif. Sisanya jelas tidak bisa dibanggakan.

Tak Sepenuhnya Benar, tapi…

Boleh jadi ada (bahkan banyak) yang tidak setuju dengan perkataan Mochtar itu. Tidak semua orang Indonesia berperilaku demikian. Akan tetapi, mesti diakui bahwa ciri-ciri tersebut bisa ditemukan dengan mudah di Indonesia. Jika kita kembali kepada pernyataan De Tocqueville dan Carlin, dengan ciri-ciri masyarakat seperti itu, tidaklah mengherankan apabila pemimpin yang dihasilkan pun seperti itu.

George Carlin (kiri) dan Alexis de Tocqueville.

Pemimpin munafik? Banyak. Pemimpin enggan bertanggung jawab? Banyak. Pemimpin berperilaku feodal? Sudah pasti banyak. Pemimpin percaya takhayul? Ada. Pemimpin berkarakter lemah? Jangan tanya.

Tentu saja, karakter buruk itu tidak sepenuhnya salah rakyat juga. Sebab, hal-hal semacam itu dapat dibenahi dengan pendidikan yang baik. Celakanya, mereka yang bertanggung jawab atas pendidikan sampai sekarang belum bisa melakukan pekerjaannya dengan benar. Apakah itu karena mereka punya watak yang sama buruknya? Silakan jawab sendiri.

Kedua, ada upaya terstruktur untuk menghalang-halangi orang yang lebih berkualitas untuk bisa masuk ke dalam sistem. Presidential threshold 20 persen, misalnya. Kebijakan ini secara otomatis menutup pintu bagi calon-calon independen. Sebab, presidential threshold mensyaratkan calon presiden untuk diusung partai atau koalisi yang punya suara minimal 20 persen di parlemen dari pemilihan umum sebelumnya.

Inilah yang kemudian menyebabkan terbatasnya pilihan masyarakat. Pada akhirnya, yang terjadi adalah kita hanya punya tiga bakal calon presiden untuk berkontestasi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun depan. Soal apakah mereka berkualitas atau tidak, itu urusan lain. Yang jadi problem utama adalah dihalanginya orang selain mereka untuk maju sebagai pemimpin tertinggi negara.

Jika dirunut lagi, upaya menghalangi ini bisa dilacak sampai pada karakter masyarakat yang diucapkan Mochtar tadi. Artinya, ada lingkaran setan yang kini tengah menjerat Indonesia. Sebab menjadi akibat, akibat menjadi sebab, dan begitu seterusnya.

Lalu Kita Bisa Apa?

Sederhananya, ada dua cara yang bisa ditempuh. Pertama, tetap percaya bahwa suatu hari nanti akan ada anomali yang mengubah segalanya. Untuk ini, artinya kita mesti terlibat terus dalam segala proses politik yang ada dan harus tahan menelan pil pahit yang disodorkan para pemangku kebijakan.

BACA JUGA:

Kedua, kita bisa mengikuti cara Carlin. Dalam pertunjukan Back to Town itu juga, sosok kelahiran 1937 itu juga berkata seperti ini:

“Aku tidak memilih karena aku percaya bahwa, jika kamu memilih, kamu tidak punya hak untuk protes. Orang-orang suka memelintir hal itu. Aku tahu mereka bilang, ‘Kalau kamu tidak memilih kamu tidak punya hak untuk protes’. Itu di mana logikanya?”

“Kalau kamu memilih, dan kamu menghasilkan orang-orang munafik yang tidak kompeten, yang menghancurkan segalanya ketika memegang jabatan, kamulah yang bertanggung jawab atas segala kehancuran itu. Kamulah penyebab masalahnya, kamulah yang bikin dia terpilih, maka kamu tidak punya hak untuk protes.”

“Sementara aku, yang tidak memilih, yang bahkan tidak meninggalkan rumah di hari pemilihan, jelas tidak punya tanggung jawab atas perbuatan mereka. Justru akulah yang punya hak untuk protes soal segala kekacauan bikinanmu, di mana aku sama sekali tidak ikut-ikutan.”

Singkat kata, Carlin menganjurkan kita untuk tidak memilih alias menjadi golongan putih (golput). Itu cara kedua yang bisa kita tempuh. Akan tetapi, jika kita melakukan itu, bagaimana kita akan mengupayakan perubahan?

Suatu kali Johan Cruyff, pesepak bola legendaris itu, pernah berujar bahwa “kebetulan adalah sesuatu yang logis”. Artinya, sebuah “kebetulan” adalah hasil dari proses yang terus menerus diupayakan. Maka, pemimpin anomali yang kita cari, yang berbeda dari yang sudah-sudah, hanya akan kita dapatkan dengan keterlibatan penuh dalam proses politik, sekecil apa pun itu.

Penulis: Yoga

Editor: Elin

Ilustrator: Salsa

BAGIKAN :

ARTIKEL LAINNYA

KOMENTAR

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments