Pernikahan Dini Tak Lagi Menjadi Tren di Kalangan Gen Z

by | Apr 27, 2023

Budaya | Cinta | Sosial
Pernikahan Dini Tak Lagi Menjadi Tren di Kalangan Gen Z

FOMOMEDIA – Gen Z ogah nikah muda. Tren pernikahan dini pun tak lagi semasif yang pernah terjadi pada generasi terdahulu.

Pernikahan hingga saat ini masih menjadi sesuatu yang sakral. Dan bagi kebanyakan orang, terutama di negara kita, pernikahan merupakan suatu pencapaian atau milestone kehidupan seseorang.

Oleh karena itu, kalimat “kapan nikah?” masih menjadi suatu pertanyaan umum yang kerap membebani seorang jomblo yang usianya sudah masuk tahap waspada. Belum menikah di usia 25 tahun ke atas tampaknya kerap dianggap sebagai sebuah aib bagi seseorang.

Oleh karena itu, tak jarang bagi pemuda, bahkan remaja, memutuskan untuk menikah di usia dini. Terlebih bagi kaum wanita yang tinggal di daerah rural.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan satu dari empat anak perempuan di Indonesia telah menikah di bawah usia 18 tahun pada 2008 hingga 2015. 

Sumber: Hubpage.com

Pada 2012, sekitar 1.348.886 anak perempuan telah menikah di bawah usia 18 tahun. Lebih mengenaskan lagi, setiap tahun, diperkirakan 300.000 anak perempuan di Indonesia sudah menikah di bawah usia 16 tahun. 

Dari data itu, seperti dikutip dari The Conversation, menyebutkan, “Tampaknya dalam kurun waktu 7 tahun sejak 2008 sampai 2015, hanya terjadi sedikit penurunan jumlah perkawinan usia dini di Indonesia. Karena usia di bawah 18 tahun masih digolongkan sebagai anak berarti perkawinan di bawah 18 tahun adalah perkawinan anak.”

Batas usia minimal perkawinan telah diatur pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa untuk laki-laki berusia minimal 19 tahun dan perempuan minimal 16 tahun.

Akan tetapi, peraturan itu direvisi dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 bahwa perkawinan boleh dilakukan oleh perempuan dan laki-laki berusia minimal 19 tahun.

Hasil revisi tersebut banyak memberi ruang kepada perempuan untuk meniti karier atau menggapai cita-cita terlebih dulu, selayaknya kaum adam. 

Pasca revisi Undang-undang tersebut, memang terlihat penurunan pernikahan dini secara gradual. Sebagaimana data BPS, secara nasional angka pernikahan dini mengalami penurunan dari 11,21 persen pada 2018 menjadi 10,82 persen pada 2019. Dan pada 2020, berada di angka 10,35 persen, kemudian menurun lagi menjadi 9,23 persen pada 2021. 

Walaupun begitu, di beberapa provinsi terjadi kenaikan. Data BPS 2021, ada lima provinsi yang mencatat kenaikan pernikahan anak, yakni Sulawesi Barat, Bengkulu, Maluku, DKI Jakarta, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Sulawesi Barat tercatat dengan angka perkawinan anak tertinggi, yakni 17,71 persen, sementara itu Riau sebagai daerah yang terendah 2,89 persen.

Woro Srihastuti Sulistyaningrum—Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga, Kementerian PPN/Bappenas—seperti dikutip dari VOA Indonesia mengatakan, “Jadi ini adalah gambaran secara nasional namun yang perlu kita perhatikan di sini adalah bagaimana kita memastikan kepada provinsi-provinsi yang masih cukup tinggi angka perkawinan anaknya untuk berupaya lebih keras lagi, lebih fokus lagi di dalam upaya pencegahan perkawinan anak.”

Pencegahan pernikahan anak ini bukanlah suatu upaya untuk ikut campur urusan selangkangan seseorang, tapi sebagai usaha untuk mencegah banyak hal, salah satunya, adalah angka kematian pada ibu dan anak. 

Berdasarkan Survei Antar Sensus (SUPAS) 2015, angka kematian ibu (AKI) berada di angka 305 per 100.000 kelahiran hidup. Selain angka kematian pada ibu, pernikahan anak sekuat mungkin dicegah sebab akan mudah mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), riskannya perceraian, dan gangguan kesehatan fisik maupun mental. 

NR (18 tahun) menyebutkan, “Buat apa nikah muda? Kalau masih muda, banyak yang bisa diraih.  Masih bebas. Dan juga pemikiran belum matang, mental masih labil, keuangan juga belum stabil.”

Perempuan yang bekerja di Jakarta Selatan itu berbagi pengalaman saat melihat temannya sendiri menikah di usia muda karena married by accident (MBA). “Temanku itu setelah nikah jadi perbincangan orang. Dia jadi kurus. Kayak belum siap dengan perkawinan dan berumah tangga.”

Tapi, menurut NR, kalau kita mampu secara keuangan, beban berumah tangga mungkin tidak berat. Tinggal pada mentalnya saja yang mesti disiapkan. 

Seturut dengan tanggapan NR di atas, DN (25 tahun) juga punya pandangan yang sama bahwa nikah muda tidak baik, sebab mental belum siap, keuangan masih pas-pasan, ilmu belum ada untuk membangun sebuah keluarga.

“Mental belum siap sehingga timbul penyakit. Pasangan yang menikah muda rentan mengalami KDRT. Aku punya teman yang nikah muda, akhirnya cerai. Saat berumah tangga gak keurus, setelah cerai (jadi janda) semakin cantik dan glowing. Kalau aku sih mau nikah di usia 28 tahun. Di usia matang dan keuangan udah bisa fight. Udah dewasa,” tulis DN via aplikasi WhatsApp.

Apa yang diresahkan oleh kedua responden kami di atas adalah keresahan generasi z pada umumnya, yakni menunda nikah karena mengejar karier.

Dalam laporan yang berjudul “Indonesian Gen-Z & Millennial Marriage Planning and Wedding Preparation” dari lembaga riset Populix menemukan bahwa sekitar 58 persen generasi z dan milenial sudah merencanakan untuk menikah, tapi tidak dalam waktu dekat. Sementara itu, 23 persen menyebutkan belum atau tidak punya rencana menikah. 

Akan tetapi, menurut Co-Founder Populix Eilen Kamtawijoyo, “Menariknya, sebagian gen z memiliki keinginan untuk menikah di usia yang lebih muda, yaitu 20-25 tahun, dibandingkan milenial yang merasa 30-35 tahun mash menjadi usia yang ideal untuk menikah.”

Seandainya generasi z berkeinginan menikah di usia 20 hingga 25, berarti secara hukum negara sudah dibolehkan, lalu kesiapan fisik dan mental juga sudah baik

Baca juga: Generasi Z: Si Paling Kreatif?

Resesi Seks

Bukan perkara mudah untuk mencegah pernikahan dini di Indonesia. Sebab, walau Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 sudah ada, tapi banyak faktor membuat pernikahan dini masih terjadi di beberapa tempat, bahkan meningkat. Misalnya, faktor ekonomi, pengetahuan reproduksi yang minim, adat dan budaya, dan pola asuh keluarga. 

Jika pernikahan dini skala nasional mengalami penurunan—walau di beberapa provinsi ada kenaikan—, data terbaru pernikahan secara umum mengalami penurunan juga. Selama satu dekade terakhir tren pernikahan di Indonesia mengalami penurunan.

Tren penurunan pernikahan dini tersebut juga terjadi di berbagai belahan dunia lainnya, yang mereka sebut sebagai “resesi seks”. Namun sebenarnya, penurunan pernikahan, belum tentu sama dengan penurunan berhubungan seks. Nah, resesi seks ini orang-orang sudah dalam tahap malas bercinta. Dan resesi seks ini sudah mulai menyasar ke Asia, khususnya China dan Jepang

Kembali ke pernikahan muda. Untuk mencegah nikah muda tersebut, mungkin bisa mengikuti strategi dari perlawanan perempuan Madura. Salah satunya adalah melanjutkan sekolah

Akan tetapi, timbul permasalahan baru, biaya sekolah atau kuliah keluarga miskin siapa yang tanggung? Di sinilah peran negara hadir di tengah masyarakat, memastikan warga negaranya mengenyam pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Sebab, kewajiban negara sesuai amanat UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. 

BAGIKAN :

ARTIKEL LAINNYA

KOMENTAR

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

[…] Pernikahan Dini Tak Lagi Menjadi Tren di Kalangan Gen Z […]