Broken Home dan Kekerasan terhadap Anak di Lingkungan Keluarga

by | Jul 27, 2023

Kekerasan terhadap Anak | Parenting | Sosial

FOMOMEDIA – Sering kali, kekerasan terhadap anak adalah sebuah siklus. Ketika siklus itu diputus, rantai kekerasan pun bakal musnah dengan sendirinya.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2021 jumlah kasus perceraian di Indonesia mencapai 447.743, naik sekitar 53,50% dibandingkan tahun 2020 yang mencapai 291.677 kasus. 

Gugatan cerai tersebut lebih banyak berasal dari pihak istri. Cerai gugat yang telah diputuskan oleh pengadilan sekitar 75,34 persen atau 337.343 perkara. Sedangkan, cerai talak yang dimohonkan oleh pihak suami dan telah diputuskan oleh pengadilan sebanyak 110.440 kasus atau 24,66 persen.

Melihat data lima tahun terakhir, angka perceraian di Indonesia cenderung mengalami fluktuasi. Angka perceraian tertinggi terjadi di tahun 2021 dan yang terendah berada di tahun 2020. 

Faktor perceraian itu disebabkan oleh perselisihan dan pertengkaran sebanyak 279.205 kasus, sedangkan sebab yang lain adalah ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, hingga poligami. 

Peningkatan angka perceraian itu bisa jadi tak lepas dari pandemi pada 2020, yang puncaknya baru terasa pada tahun berikutnya. Pandemi berpotensi memicu pertengkaran suami istri karena orang-orang hanya beraktivitas di rumah. Bagi yang biasa bekerja di kantor, rumah bisa menjadi tempat yang tidak nyaman untuk menyelesaikan pekerjaan. Belum lagi jika kita bicara soal pekerja lapangan, seperti driver online. Pembatasan sosial berskala besar yang memaksa orang tinggal di rumah jelas memutus sumber penghasilan keluarga.

Ilustrasi perceraian. (Image by Freepik)

Juga karena pandemi, banyak karyawan yang diputus kontraknya oleh perusahaan. Dari sini, benih ketidaklanggengan pasangan suami istri tersemai, hingga akhirnya, perceraian menjadi jalan terakhir.

Seperti beberapa pasangan yang ditulis BBC, mereka mengaku tertekan selama pandemi. Padahal, permasalahan hanya bermula dari hal kecil, seperti pembagian tugas merawat anak-anak. Namun, hal kecil itu kemudian berujung pada pertengkaran hebat. 

Bagi orang tua yang memilih bercerai, mungkin, itu solusi terbaik yang mereka ambil setelah beberapa kali mencari jalan keluar. Akan tetapi, perceraian tidak saja urusan suami dan istri, tapi ada subjek lain yang menjadi korban, yakni seorang anak—jika pasangan itu mempunyai anak—yang sering kali tidak tahu-menahu persoalan orang tuanya. 

Tidak bisa dipungkiri, perceraian memiliki dampak buruk kepada anak. Seperti di Sragen, Jawa Tengah, banyak anak yang menjadi pecandu narkoba berasal dari keluarga bermasalah atau broken home. Ketika rumah tidak lagi menjadi tempat nyaman, banyak anak yang mencari kenyamanan di tempat lain. 

Maka, jangan heran ketika mereka banyak menghabiskan waktu di kelab malam, mabuk-mabuk bersama teman sebayanya—yang sebelumnya belum pernah mereka lakukan. Mereka melarikan diri dari kondisi rumah yang gersang.

BACA JUGA:

Tak sedikit juga anak-anak yang berasal dari broken home banyak menghabiskan waktu di media sosial. Mereka mencurahkan kesedihan di sana. 

Sebenarnya, tidak semua anak dari broken home lari ke hal negatif. Sebab, di beberapa kasus, mereka berusaha bangkit dari kesedihan itu. Pada akhirnya, kondisi akan membentuk mereka, yakni berjuang sendiri untuk membiayai kehidupannya sampai besar. Karena sosok yang membiayai mereka—biasanya seorang ayah—telah pergi meninggalkan rumah. 

FomoMedia menghubungi IS (27 tahun), seorang tenaga kesehatan di Banggai Laut, Sulawesi Tengah, yang merasakan kondisi keluarga broken home. IS menceritakan kisah masa kecilnya saat menyaksikan keretakan hubungan orang tuanya kala dia duduk di bangku SMP. 

Sempat selama beberapa tahun, IS tidak bisa berkomunikasi dengan ayahnya yang pergi meninggalkan rumah. Dia bersama dua saudaranya harus menjual dagangan kue bikinan ibu mereka agar bisa membiayai sekolah. 

“Ibuku yang sebelumnya bikin kue hanya untuk camilan di rumah, akhirnya saat ayah kami pergi, ibu bikin kue untuk dijual. Kami kalau ke sekolah tidak saja membawa buku dan pulpen, tapi juga kue-kue untuk dijual ke teman-teman dan para guru,” tutur IS dalam percakapan WhatsApp. 

Hasil dagangan itulah yang membuat IS beserta keluarga bertahan di masa-masa malaise. Dari hasil jualan kue itu, IS bisa menyelesaikan pendidikan kesehatan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Ilustrasi keluarga tak harmonis. (Image by macrovector_official on Freepik)

“Kalau mau harap ayah lagi, sudah tidak bisa. Jadi, ibu yang banting tulang membiayai kami semua. Alhamdulillah, aku bisa selesai kuliah,” ucap IS di akhir percakapan kami. 

Rumah yang Berubah bak Neraka

Perceraian tidak saja terjadi pada masa pandemi, sebelumnya pun sudah terjadi di mana-mana, bahkan Indonesia masuk dalam daftar negara dengan angka perceraian tertinggi di Asia Afrika

Lalu, bagaimana nasib anak broken home? Sebuah penelitian dari Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus) mengungkapkan bahwa anak korban broken home mengalami beragam trauma akibat kekerasan. 

Pertama, kekerasan fisik. Misalnya, ada anak yang pernah ditampar oleh ayahnya menggunakan benda keras. Kedua, kekerasan seksual. Sejumlah responden mengaku nyaris mengalami perkosaan oleh ayahnya sendiri.

Ketiga, aspek psikis. Contohnya, ada responden yang sempat melihat ayahnya bersama perempuan lain dalam satu mobil. Keempat, kekerasan verbal. Di sini, yang responden kerap dapatkan adalah bagaimana mereka dianggap hanya menjadi beban ayahnya.

Selaras dengan hasil penelitian itu, dalam sebuah laporan bertajuk “Global Report 2017: Ending Violence in Childhood” menyebut bahwa 73,7 persen anak Indonesia dengan usia 1-14 tahun mengalami kekerasan di rumahnya sendiri. Miris.

Ilustrasi kekerasan terhadap anak. (Image by pikisuperstar on Freepik)

Kamu mungkin pernah mengalami tindakan kekerasan saat masa kanak-kanak. Ketika kamu tidak ke sekolah, kamu dipukul. Saat kamu tidak ke rumah ibadah, betismu menjadi lebam karena bekas pukulan. Dan kekerasan seperti itu menjadi dalih orang tua menyebut sebagai bagian dari didikan kepada anak. 

Hasil penelitian dari Unimus dan data dari Know Violence in Childhood tersebut mengabarkan bahwa marabahaya untuk anak ada di mana-mana, bukan cuma di luar rumah, tapi juga dalam rumah. Keluarga bukan lagi tempat mengadu terbaik atau pelindung yang jago, sebab keluarga telah berubah menjadi penjahat paling kejam.

Memori kecil yang pahit itu akan dibawa oleh anak hingga besar, bahkan sampai pada tataran sang anak membenci kedua orang tuanya. “Aku pernah dalam fase begitu membenci orang tuaku akibat trauma. Ingatanku mengalami kekerasan saat kecil kerap terlintas dan itu membuat aku membenci mereka,” ujar Y (32 tahun) saat dihubungi FomoMedia.

Lalu, apa yang harus dilakukan oleh orang tua sehingga rumah tetap menjadi tempat ternyaman di dunia? Solusinya cuma satu, yaitu tidak melakukan kekerasan kepada anak. Cuma itu. Tidak perlu memakai dalil pembenaran apa pun. 

Sering kali, kekerasan adalah sebuah siklus. Seseorang melakukan kekerasan karena dulu dia menjadi korban kekerasan pula. Bagi mereka yang mengalami hal ini, cara terbaik adalah dengan memutus siklus tersebut. Ketika siklus itu diputus, rantai kekerasan pun bakal musnah dengan sendirinya.

Penulis: Safar

Editor: Yoga

Ilustrator: Vito

BAGIKAN :

ARTIKEL LAINNYA

KOMENTAR

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments