Hari Buku Sedunia: Bacaan Elite, Keteraksesan Sulit

by | Apr 25, 2024

Buku | Hari Buku | Literasi | Pramoedya Ananta Toer

FOMOMEDIAMeski akses mendapatkan buku makin beragam, tak berarti mudah dijangkau banyak orang. Apa yang seharusnya dilakukan pada momen hari buku sedunia?

Belum lama ini lini masa media sosial diramaikan dengan ajakan mendesak penerbitan ulang buku karya Pramoedya Ananta Toer. Dari sekian banyak karya penulis asal Blora itu, buku bertajuk Arus Balik menjadi salah satu yang didesak untuk segera diterbitkan ulang. 

Usut punya usut, ajakan untuk menerbitkan ulang karya Pram tersebut diinisiasi oleh akun X Gerpolek Plot. Akun tersebut mengajak warganet untuk membikin video singkat desakan kepada keluarga Pram terkait buku mana yang ingin diterbitkan ulang.

“Kalo punya kesempatan ngobrol langsung sama keluarga Pramoedya Ananta Toer, apa yg ingin kamu sampein?” tulis Gerpolek Plot.

Dengan tawaran hadiah dua buku gratis, warganet langsung mengikuti ajakan itu. Beberapa video desakan kepada keluarga Pram untuk mau menerbitkan ulang beberapa buku pun bermunculan. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Ardyan M. Erlangga. Bekas jurnalis Vice Indonesia yang kini bermukim di Finlandia tersebut mengunggah video dirinya terkait penerbitan buku Pram.

“Halo, saya Ardyan, pembaca Pram yang bermukim di Finlandia. Ketika mendengar rencana ada perwakilan teman-teman yang hendak menghubungi keluarga Pram untuk mengupayakan penerbitan lagi karya-karya beliau menjelang seabad Pram, saya berharap dari jauh supaya rencana tersebut terwujud dan semoga keluarga bersedia memfasilitasinya,” kata Ardyan.

Menurutnya, buku karya Pram perlu dikenalkan kepada para pembaca muda maupun umum. Sebab, selain Tetralogi Buru, berbagai karya Pram lainnya juga memiliki dimensi yang luas. Dua buku yang berkesan bagi Ardyan di antaranya adalah Gadis Pantai dan Arus Balik. “[Dua buku ini] menurut saya paling efektif menyadarkan saya tentang karakteristik karakter manusia Indonesia dan problematiknya feodalisme Jawa,” lanjutnya.

Ia berharap supaya penerbitan ulang karya-karya Pram bisa terwujud. Sehingga, buku-buku yang kini bisa dibilang langka segera tersedia dan terjangkau lebih luas.

Makin Langka, Makin Mahal

Sementara itu, warganet lainnya juga menyentil harga buku sastrawan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat tersebut yang dianggap terlalu mahal. Bahkan, semakin langka buku itu, maka harganya pun semakin tidak wajar.

“Sebagai pembaca juga penjual buku, saya kasihan dengan teman-teman pembaca baru yang ingin mengenal tulisan Pramoedya Ananta Toer. Kita tidak bisa berharap buku-buku Pram bakal cetak ulang. Mungkin yg bisa kita lakukan menjaga buku-buku Pram tidak melambung melampaui akal sehat,” tulis akun X @senogp

Lalu, menanggapi cuitan tersebut, akun X @harrigieb memberikan informasi bahwa buku Pram bakal terbit tahun depan. Namun, terkait kabar ini belum ada konfirmasi secara langsung.

Dari kasus di atas bisa diketahui bahwa akses terhadap buku Pram sangat sulit. Bahkan, untuk mendapatkannya saja perlu merogoh kocek yang tak sedikit. Itu hanya Pram. Padahal, Indonesia sejak era kemerdekaan punya banyak penulis kondang lainnya.

Sebut saja sosok Tan Malaka. Sebagai Bapak Republik, ia kerap menerbitkan beberapa buku. Salah satu yang paling monumental adalah Naar de ‘Republiek Indonesia’. Buku tersebut kemudian dicetak dalam versi bahasa Indonesia dan diberi tajuk Menuju Republik Indonesia. Itu menjadi salah satu karya Tan Malaka yang bisa dibilang sangat langka. Gara-gara kelangkaan itulah buku tersebut memiliki harga fantastis.

Akses Buku

Dewasa ini, akses terhadap buku semakin beragam wujudnya. Baik buku cetak maupun elektronik, akses untuk mendapatkannya kian menjamur dan populer di kalangan masyarakat.

Eksistensi toko buku, misalnya, jumlahnya masih banyak di era digital ini. Menurut data yang dihimpun oleh Komite Buku Nasional, jumlah jaringan toko buku di Indonesia pada 2019 mencapai 313 buah.

Sarana promosi toko buku pun bisa dibilang semakin beragam. Tak hanya berjualan secara langsung, berbagai platform toko buku daring mulai bermunculan di banyak aplikasi dan media sosial. Baik perusahaan berskala besar hingga tiap individu bisa menjual buku dengan mudah.

Tak hanya buku fisik, buku juga bisa diakses secara digital. Kita bisa mengaksesnya hanya melalui gawai, dengan membeli file e-book di aplikasi seperti Google Books dan Kindle, maupun dengan meminjamnya di aplikasi perpustakaan daring, seperti iPusnas.

Tingkat Kegemaran Membaca

Di samping semakin beragamnya akses mendapatkan buku, minat baca masyarakat Indonesia juga semakin tinggi. Tingkat kegemaran membaca (TGM) Indonesia pada 2022 mencapai 63,9 persen. Jumlah tersebut meningkat cukup banyak dibanding tahun sebelumnya, yakni 59,52 persen.

BACA JUGA:

Dengan skor itu, TGM masyarakat Indonesia tergolong tinggi. Bahkan, angka tersebut melesat hanya dalam waktu 5 tahun. Pada 2017, TGM masyarakat Indonesia hanya mencapai 36,48 persen dan masuk kategori rendah.

Sayangnya, tingginya minat membaca tidak berbanding lurus dengan kemudahan mengakses buku. Meskipun cara mengaksesnya semakin beragam, bukan berarti masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan buku.

Pasalnya, rasio capaian koleksi buku di perpustakaan daerah dengan jumlah penduduk Indonesia mencapai 1:90. Jumlah tersebut berarti satu buku ditunggu oleh 90 orang. Padahal, berdasarkan standar UNESCO, idealnya satu orang membaca tiga buku baru tiap tahunnya.

Di tingkat desa, jumlah perpustakaan dengan jumlah desa atau kelurahan di Indonesia juga masih timpang. Dilansir oleh Kompas.id, hanya ada kurang lebih 33 ribu perpustakaan desa. Jumlah tersebut bahkan tidak mencapai separuh dari jumlah desa atau kelurahan di Indonesia, yakni sekitar 84 ribu.

Tak hanya itu, tingginya minat membaca juga masih terpusat di Pulau Jawa. Provinsi peraih lima besar TGM 2022 seluruhnya berada di Pulau Jawa. Kelima provinsi itu adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (72,29 persen), Jawa Tengah (70,96 persen), Jawa Barat (70,1 persen), DKI Jakarta (68,71 persen), dan Jawa Timur (68,54 persen).

Padahal, kemudahan mengakses buku berdampak pada meningkatnya budaya membaca masyarakat, terutama anak-anak. Kebiasaan membaca tak hanya bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan intelektual dan berpikir kritis seseorang, tetapi juga mengasah empati mereka

Hari Buku Sedunia sebagai Perayaan

Momen Hari Buku Sedunia yang diperingati pada 23 April 2024 sepatutnya menjadi tugu pengingat bagi kita masyarakat Indonesia. Momen ini tak hanya dirayakan sebagai bentuk pujian terhadap karya-karya para pesohor dunia. Lebih dari itu, masalah perbukuan di Tanah Air nyatanya masih banyak yang belum kelar.

Perihal akses buku hanya salah satu dari sekian kompleksitas perbukuan di Indonesia. Namun, dengan adanya Hari Buku Sedunia ini mampu mengingatkan kita bahwa masih banyak PR yang perlu dikerjakan.

Hari Buku Sedunia yang ditetapkan UNESCO sejak 23 April 1995 tak hanya menjadi momen untuk menghargai buku. Akan tetapi, juga menghargai berbagai aktivitas serta subjek yang bersinggungan dengannya. Kegiatan membaca, menerbitkan, dan berbagai persoalan seperti hak cipta buku menjadi sorotan pada hari yang mulai dirayakan di Catalunya, Spanyol, ini.

“Setiap tahun, pada tanggal 23 April, perayaan diadakan di seluruh dunia untuk mengakui ruang lingkup buku–penghubung antara masa lalu dan masa depan, jembatan antargenerasi dan lintas budaya,” tulis keterangan UNESCO.

BACA JUGA:

Sementara itu, pemilihan tanggal tersebut dianggap simbolis dalam gelanggang sastra dunia. 23 April merupakan tanggal meninggalnya beberapa penulis terkemuka, seperti William Shakespeare, Miguel de Cervantes, dan Inca Garcilaso de la Vega.

Selain untuk memperingati para pesohor tersebut, seyogianya Hari Buku Sedunia kini bisa dipahami jauh lebih luas. Perayaan momen ini juga berkelindan dengan berbagai profesi yang terkait dengan buku, seperti penyuntingan, penerjemahan, penerbitan, dan para penjual buku–termasuk para pembacanya.

Penulis Sohor Tak Cuma Pram

Oleh sebab itu, peringatan Hari Buku Sedunia ini merupakan momen pas untuk meluaskan dan mempermudah akses buku bagi masyarakat. Akses mendapatkan buku, seperti perpustakaan, harus bersifat inklusif. Seperti kata Neil Gaiman dalam Kenapa Masa Depan Kita Bergantung pada Perpustakaan, Membaca, dan Melamun?, perpustakaan adalah soal kebebasan; kebebasan membaca, berpikir, dan berkomunikasi.

Dari sini kita bisa menilik kembali betapa pentingnya keberadaan buku, seperti halnya buku-buku Pram yang didesak untuk diterbitkan ulang. Tidak hanya perkara akses, tetapi keterjangkauan buku bagi semua kalangan masyarakat Tanah Air juga perlu diperhatikan.

Hal-hal seperti desakan untuk menerbitkan buku-buku karya Pram memang perlu untuk semakin digalakkan. Pasalnya, dewasa ini untuk mendapatkan berbagai karya penulis tersebut sangat sulit. Mungkin beberapa orang bisa mendapatkan berbagai buku Pram di berbagai toko buku lawasan. Namun, tidak berarti buku tersebut bisa terjangkau bagi banyak orang.

Meski kegiatan ini diinisiasi oleh segelintir orang, kita tetap perlu memberikan apresiasi tinggi. Apalagi, jika dilihat dari segi historis, salah satu karya Pram yang pernah dilarang oleh pemerintah adalah Bumi Manusia.

Salah satu dari Tetralogi Buru tersebut pertama kali terbit pada 1980. Waktu itu, Bumi Manusia langsung mendapat pencekalan dari pemerintah lantaran dianggap mengandung ajaran Marxisme dan Leninisme. Padahal, buku ini menjadi bagian dari magnum opus sang sastrawan untuk mengenal awal Indonesia dibentuk.

Jika beberapa buku karya Pram bisa diterbitkan ulang, maka ini akan menjadi kabar gembira bagi dunia perbukuan. Akses untuk mendapatkan buku karya Pram setidaknya bisa semakin mudah. Bahkan, tak cuma Pram. Pelbagai penulis sohor lain yang karyanya semakin langka juga perlu didorong keteraksesannya, demi mewujudkan masyarakat dengan budaya literasi yang semakin baik.

Selamat Hari Buku Sedunia!

Penulis: Sunardi

Editor: Safar

Ilustrator: Vito

BAGIKAN :

ARTIKEL LAINNYA

KOMENTAR

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments