FOMOMEDIA – Pamer buku sebetulnya sah-sah saja. Malah, makin sering buku terlihat di ruang publik, makin bagus. Tapi, kenapa banyak yang sewot soal ini?
Media sosial menyulap banyak hal di kehidupan sehari-hari. Ruang privat hilang. Pembatas tak ada lagi. Semua dipamerkan ke beranda media sosial. Dari hal receh hingga hal mewah, semua dipamerkan. Istilah kerennya, flexing.
Namun, bagaimana ketika yang dipamerkan ke ruang publik adalah buku? Apakah memamerkan bacaan bisa juga dilihat sebagai sebuah aksi flexing?
Selama ini, buku dipandang sebagai barang yang harus diendapkan di ruang sepi, dibaca di ruang hening, dan sebaiknya tidak dibawa ke mana-mana, apalagi diunggah di media sosial.
“Pamer mulu, kapan bacanya?” Begitulah kejulidan yang (mungkin) acap diterima para Bookstagram (orang-orang yang doyan pamer buku di Instagram, red.). Gak cuma di media sosial, nyinyiran terhadap orang yang menunjukkan bacaan di depan umum pun bisa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Misal, saat membawa buku ke tongkrongan, cibiran “sok intelek” atau “sok serius” pasti pernah didengar para book lovers.
Buku Masih Jadi Barang Aneh
Di Indonesia, buku masih dianggap barang “aneh” ketika ditenteng di keramaian. Beda dengan di negara-negara maju seperti di Eropa, Amerika utara, atau Jepang. Di taman, ruang tunggu, dan fasilitas umum lainnya orang-orang kerap terlihat sedang membaca buku.
Di Indonesia, pemandangan tersebut masih jadi anomali. Hal ini pernah menimbulkan keresahan tersendiri dalam diri sastrawan Taufiq Ismail yang kemudian menuangkannya dalam puisi berjudul “Kupu-Kupu di Dalam Buku”.
Ketika duduk di stasiun bis, di gerbong kereta api,
di ruang tunggu praktek dokter anak, di balai desa,
kulihat orang-orang di sekitarku duduk membaca buku,
dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang.
Ketika berjalan sepanjang gang di antara rak-rak yang panjang,
di perpustakaan yang mengandung ratusan ribu judul buku
dan cahaya lampunya terang benderang,
kulihat anak-anak muda dan anak-anak tua
sibuk membaca dan menuliskan catatan,
dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang.
Taufiq punya mimpi besar. Dia ingin melihat Indonesia jadi seperti negara-negara maju yang masyarakatnya terbiasa dengan buku. Puisi “Kupu-Kupu di dalam Buku” tersebut ditulis Taufiq pada 1996. Kini, hampir tiga dasawarsa telah berlalu, dan mimpi penyair kelahiran 25 Juni 1935 itu mulai menjadi kenyataan.
Memang, yang menjadi tempat “pamer” buku bukan stasiun atau ruang tunggu, melainkan media sosial. Namun, hakikatnya sama. Orang-orang mulai nyaman menunjukkan bahwa mereka suka membaca ke ruang publik.
Buku pun Punya Derajat?
Permasalahannya, tidak semua buku punya “derajat” yang sama. Misalnya, ada buku yang tidak tersedia di sembarang toko, yang mesti dibeli dari luar negeri, atau mungkin sudah tidak diterbitkan lagi. Inilah yang kemudian membuat perbedaan antara “nyaman menunjukkan bacaan” dan “flexing buku” jadi begitu samar.
Semakin tinggi “derajat” sebuah buku, semakin besar potensi kemunculan unsur flexing yang terlihat ketika seseorang mengunggah apa pun (bisa foto, kutipan, dll.) dari buku tersebut. Pertanyaannya, kalau memang beginilah realitasnya, apakah ini serta merta merupakan hal buruk?
Pamer Buku, Yes or No?
Fenomena pamer buku ini pernah ditanggapi netizen Twitter bernama Aang Tirta. Menurutnya, “Motif orang bagiin buku yang dibaca juga banyak sih. Ada yang ingin komentar, buat catatan, target baca, atau sekadar pamer tapi nggak baca. Nggak apa-apa. Semuanya ngeramein. Lagi pula pamer banyak baca buku juga nggak bikin orang kelihatan keren atau hebat. Biasa aja. Lebih banyak yang nggak peduli.”
Sedangkan, menurut SA yang kerap membagikan bukunya ke media sosial, “Baca buku di media sosial itu gak jauh berbeda saat kita baca buku di dunia nyata. Tipe-tipe pembaca buku di media sosial, terutama di Instagram dan Twitter, pun beragam. Ada yang memang baca buku dan membagikan isinya di media sosial, ada pula yang cuma pamer. Walaupun begitu, menyebut baca buku atau memfoto buku di media sosial sebagai ‘pamer’ menurutku berlebihan dan tidak berdasar.”
Laki-laki 30 tahun itu berpendapat bahwa membagikan foto buku—lebih-lebih membagikan hasil bacaan di media sosial— merupakan ajakan kepada untuk membaca buku. Isu pamer buku di teman-teman buku bukan menjadi persoalan serius seperti pamer harta atau pamer-pamer benda berharga mahal lainnya.
“Bahkan, teman-teman di Twitter sering kali berterima kasih dengan aktivitas pamer buku dan bahkan membagikan bacaannya di media sosial. Teman lain jadi punya daftar judul/wishlist buku baru yang mau mereka beli. Kalau ada anggapan posting buku di media sosial itu pamer, biasanya memang datang dari orang yang gak suka baca buku,” tutupnya saat diwawancarai via WhatsApp.
Begitu juga pendapat dari PA (31 tahun). “Mungkin sebagai kampanye ke orang lain untuk ikut rajin baca buku. Mungkin sebagai penanda bahwa kekayaan saya letaknya di buku. Dan, menariknya sampai saat ini, belum ada orang yg diperiksa KPK karena banyaknya jumlah buku yang dia miliki,” selorohnya.
Flexing Buku lebih Bagus daripada Flexing Harta?
Pencinta karya-karya Tere Liye itu mengatakan bahwa mungkin ada teori tentang pamer kekayaan tapi pamer buku bukan masuk di ranah itu. Ketika kita mengunggah konten perbukuan, yang dipamerkan adalah intelektualitas. Bedanya sama pamer kekayaan, pamer buku ini cenderung mendorong rasa simpati orang lain.
“Lihat saja waktu rumahnya Rocky Gerung didatangi dan di-posting ke YouTube soal buku-bukunya. Mayoritas orang memuji dia, karena tidak semua orang bisa mengeluarkan uang untuk beli buku,” tambah PA.
Akan tetapi, menurutnya, pamer buku juga punya mudarat. Pertama, menimbulkan rasa iri. Kedua, saking sering mengunggah buku, akhirnya lupa membaca bukunya. Ketiga, label cerdas melekat pada orang yang pamer buku, padahal si pembaca buku belum tentu cerdas dan buku yang diunggah cuma jadi objek pamer.
Pada akhirnya, kebiasaan pamer buku memang tidak pas jika disebut hal negatif. Justru, hal ini mestinya disikapi sebagai menjadi ajakan agar mencintai buku dengan caranya masing-masing. Buku punya tempat di mana saja. Di ruang privat maupun publik, di dunia nyata maupun maya. Jika buku sudah menjadi barang lumrah, artinya kita sudah satu langkah menuju peradaban yang lebih maju.
Penulis: Safar
Editor: Yoga
Ilustrator: Vito
[…] Buku tuh Dibaca, Gak Cuma Dipamer-pamerin […]
[…] Buku tuh Dibaca, Gak Cuma Dipamer-pamerin […]