FOMOMEDIA – Kekeringan ekstrem melanda Amazon, Brasil. Ratusan ribu penduduk dan berbagai hewan langka terancam. Aksi nyata perlu segera dilakukan.
Pada hari Jumat, 6 Oktober 2023, sebanyak 42 dari 62 kota di wilayah Amazon telah menyatakan keadaan darurat. Kekeringan telah membuat surut sebagian besar sungai utama di Amazon, cekungan terbesar di dunia yang menyumbang 20% air tawar planet ini.
Sungai-sungai di sekitar Amazon difungsikan oleh masyarakat sebagai jalur transportasi layaknya jalan tol. Imbas kekeringan ekstrem itu, sungai yang tadinya sedalam 3 meter, kini hanya setinggi 20 cm saja. Otomatis, transportasi untuk bepergian maupun logistik terhambat.
Anak-anak setempat sudah berhenti sekolah sejak sebulan lalu. Biasanya mereka berangkat dengan kapal. Kini, tak ada arus sungai yang bisa mengantar mereka.
Menurut otoritas pertahan sipil negara bagian Brasil, setidaknya 250.000 orang telantar tanpa pasokan bahan bakar, makanan, atau air bersih yang cukup.
Tanpa Air, Tak Ada Kehidupan
Raimundo Silva do Carmo adalah nelayan berusia 67 tahun. Beberapa hari ini, ia kesulitan untuk sekadar mendapat air. Seperti kebanyakan masyarakat rural di Amazon, do Carmo biasanya megambil air yang tak diolah dari saluran air bioma yang melimpah.
Pada Kamis pagi, ia empat kali bolak-balik perjalanan jauh dengan menenteng ember plastik. Ember yang ia bawah dalam keadaan kosong itu akan penuh begitu ia tiba di Danau Puraquequara, yang terletak di sebelah timur ibu kota negara bagian Amazonas, Manaus. Hanya saja, danau itu sudah tak dipenuhi air lagi. Do Cormo datang ke situ untuk menimba air dari sumur yang digadi di dasar danau kering itu.
“Ini pekerjaan yang menyiksa, terlebih lagi ketika matahari panas,” kata do Carmo kepada The Associated Press. Kendati berat, ia tak punya pilihan. “Kami menggunakan air untuk minum, mandi, memasak. Tanpa air, tak ada kehidupan.”
Sekira 450 mil di sebelah barat Danau Puraquequara, terdapat Cagar Ekstraktif Auati-Parana. Di sana, lebih dari 300 keluarga berjuang mencari makanan dan persediaan lain. Kanal ke danau tempat mereka memancing pirarucu, ikan terbesar di Amazon dan sumber pendapatan utama mereka, telah mengering. Mereka bisa saja berjalan ke danau itu untuk memancing. Tapi membawa pulang ikan seberat 200 kilogram dengan berjalan di bawah terik akan sangat berat dan lama.
“Risikonya, kami menangkap ikan di danau dan saat pulang sudah busuk. Jadi tidak ada cara bagi kami untuk menangkap ikan, ” kata Edvaldo de Lira, presiden asosiasi lokal.
Kekeringan juga sebabkan ribuan ikan di sungai mengapung tak bernyawa. Lebih mengerikan lagi, hewan langka ikut menjadi korban. Di Danau Tele, sekira 480 km dari Manaus, setidaknya 140 lumba-lumba pink Amazon ditemukan mati karena air terlalu dangkal dan suhu terlalu panas. Kekeringan juga mengancam berbagai satwa liar lain.
Tipping Point Pendidihan Global
Fenomena kekeringan ekstrem ini adalah imbas pendidihan global yang didorong oleh pembakaran bahan bakar fosil. Pengaruh perubahan iklim pada peristiwa spesifik sangatlah kompleks dan membutuhkan studi mendalam. Namun, banyak pakar percaya bahwa peningkatan suhu bumi meningkatkan kemungkinan cuaca ekstrem.
Kekeringan di Amazon merupakan satu dari peristiwa cuaca ekstrem berantai di Brasil. Pusat peringatan bencana Brasil, CEMADEN, melaporkan bahwa sepanjang periode Juli hingga September lalu, delapan negara bagian Brasil mencatat curah hujan terendah dalam 4 tahun terakhir.
Sepanjang Juli-September itu, gelombang panas menyapu sebagian besar Brasil. Padahal, seharusnya negara itu sedang berada dalam musim dingin. El Nino juga melewati Brasil dan mengakibatkan banjir dahsyat di negara bagian selatan Rio Grande do Sul.
Selain jadi hutan hujan terbesar, Amazon juga wilayah dengan formasi sungai yang kompleks. Itu menjadikan Amazon sebagai “tipping point“. Kalau satu tipping point rusak, yang lain akan semakin cepat rusak. Rusaknya Amazon dikhawatirkan memicu krisis iklim global yang semakin parah ke depannya.
Di negara bagian Amazonas, hampir 7.000 kebakaran dilaporkan pada bulan September saja, angka tertinggi kedua untuk bulan itu sejak pemantauan satelit dimulai pada tahun 1998.
Asap imbas kebakaran mencekik penghuni Manaus, menambah derita 2 juta penduduk yang sudah dibakar panas terik. Minggu lalu, kota ini mencatat suhu terpanas sejak pengukuran reguler dimulai pada 1910. Pada akhir September itu juga, rata-rata suhu global rata-rata melonjak lampaui rekor.
Para pakar memperkirakan kekeringan akan berlangsung sampai awal 2024. Di masa mendatang, kekeringan semacam ini dikhawatirkan semakin sering.
Pemerintah Harus Bertindak Cepat
Melihat frekuensi peristiwa cuaca ekstrem yang terus meningkat, urgensi akan campur tangan pihak berwenang semakin tinggi. Pemerintah federal, regional, dan kota harus berkoordinasi mempersiapkan dan menciptakan sistem peringatan untuk meminimalisir dampak.
Untuk tindakan jangka pendek, pemerintah setempat hendak mendistribusikan bantuan makanan, air bersih dan obat-obatan dengan jalur udara.
Namun, perlu diingat, krisis iklim adalah persoalan mendesak yang tak bisa diselesaikan dengan penanggulangan-penanggulangan oleh segelintir pihak yang sudah terdampak. Krisis iklim adalah persoalan bersama masyarakat di dunia.
Masyarakat yang tinggal di Indonesia, hari ini juga sudah mencicipi rasanya rasanya menunggu lampu merah di bawah terik 34°C, bukan?
Penulis: Ageng
Editor: Yoga
Ilustrator: Salsa
[…] Sungai-sungai di Amazon Kering, Pendidihan Global Bakal Makin Parah […]