FOMOMEDIA – Wajah kebebasan pers setelah 25 tahun Reformasi masih belum optimal. Dari 180 negara yang disurvei, Indonesia berada di peringkat 108. Apa yang sebenarnya terjadi di Republik ini?
Reformasi 1998 membawa perubahan signifikan dalam dunia pers. Salah satu perubahan yang terasa adalah banyak bermunculan media-media baru. Kemunculan media baru itu sayangnya belum diimbangi dengan perbaikan indeks kebebasan pers. Kini, seperempat abad setelah Reformasi, Indonesia masih berada di posisi 108 dari 180 negara yang disurvei.
Peringkat indeks tersebut dirilis oleh Reporters sans Frontieres (RSF) pada 3 Mei 2023 lalu. Menurut organisasi nirlaba internasional yang bekerja untuk kebebasan pers itu, posisi Indonesia memang naik sembilan tingkat dari tahun sebelumnya yang berada di posisi 117. Namun, posisi tersebut masih di bawah Timor Leste, Malaysia, dan Thailand.
Menurut laporan dari RSF tersebut, kebebasan pers yang ada di Indonesia masih berada dalam kategori “sulit”. Bahkan, peringkat Indonesia masih dua tingkat di bawah Thailand yang notabene pemerintahannya dibayang-bayangi kekuatan militer.
Indonesia sudah seperempat abad bebas dari cengkeraman politik militer ala pemerintahan Soeharto. Seyogianya Indonesia sudah punya iklim demokrasi yang jauh lebih baik, termasuk dalam hal kebebasan pers. Namun, dalam realitasnya, justru Timor Leste dan Thailand lebih unggul ketimbang Indonesia.
Tak bisa dipungkiri, di Indonesia masih banyak jurnalis yang mendapatkan intimidasi. Menurut RSF, intimidasi muncul ketika wartawan melakukan penyelidikan kasus korupsi di tingkat lokal maupun isu lingkungan yang melibatkan tokoh besar dan pejabat lokal.
Data kasus intimidasi terhadap jurnalis tersebut juga diperkuat oleh laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Organisasi perserikatan para jurnalis itu mencatat, sedikitnya terdapat 61 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis dan 14 organisasi media pada tahun 2022.
Jumlah kasus kekerasan pada tahun 2022 itu sebagian besar dalam bentuk kekerasan fisik dan perusakan alat kerja. Jenis kekerasan lainnya yang jumlahnya cukup besar adalah serangan digital. Selain itu, ada pula jenis kekerasan dalam bentuk verbal yang menimpa para jurnalis.
Menurut data rekapitulasi AJI, dari total kasus kekerasan yang pernah dialami jurnalis, mayoritas pelakunya adalah aparat kepolisian. Kemudian, pelaku selanjutnya berasal dari “massa” dan “orang tidak dikenal”.
Baca juga: Krisis Percaya Diri Anak Muda, Ini Penyebabnya
Kebebasan Pers Pengaruhi Indeks Demokrasi
Ibarat garam yang terbuat dari air laut, kebebasan pers adalah representasi awal wujud demokrasi yang baik. Kebebasan pers bisa memengaruhi indeks demokrasi. Keduanya saling berkelindan dan tak bisa dipisahkan.
Indeks kebebasan pers di Indonesia masih dalam kategori “sulit” juga berbarengan dengan indeks demokrasi yang cenderung menurun. Menurunnya indeks demokrasi Indonesia dewasa ini bisa dilihat sejak era Presiden Joko Widodo menjabat.
Data tersebut bisa dilihat dari laporan The Economist Intelligence Unit (EUI). EUI menyebut pada tahun 2015 merupakan puncak dari skor terbaik indeks demokrasi di Indonesia. Selepas itu, mulai dari tahun 2016 sampai 2021, indeks demokrasi di Indonesia cenderung menunjukkan penurunan.
Sementara itu, Dewan Pers dalam Penyusunan Indeks Kebebasan Pers 2022 menjelaskan, pers adalah salah satu pilar demokrasi. Dewan Pers menyebut, jika kemerdekaan pers semakin menguat, kehidupan berbangsa dan bernegara yang semakin demokratis akan semakin meningkat.
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers), kemerdekaan terhadap dunia jurnalisme Indonesia telah dijamin. Beberapa pasal yang mengulik kemerdekaan pers itu seperti Pasal 2 yang berbunyi: “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.”
Kemudian, Pasal 4 ayat 1 menyebut, “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara”, dan ayat 3 berbunyi: “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”
Gen Z Memandang Kebebasan Pers
Salah satu generasi yang memiliki populasi paling banyak di Indonesia adalah generasi z (gen z). Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2022 mencatat populasi gen z—atau mereka yang lahir antara 1997 dan 2012—mencapai 68,66 juta jiwa atau sekitar 27,94 persen dari total populasi penduduk Indonesia.
Dengan jumlah sebanyak itu, gen z memiliki kekuatan tersendiri untuk menyetir arah kehidupan sosial masa depan Indonesia. Dan kini, dengan makin beranjak dewasanya mereka, para gen z pun telah memiliki opini yang kuat tentang situasi sosial-politik Tanah Air.
Afi, seorang perempuan pekerja lepas di Yogyakarta membagikan pengalamannya ihwal kebebasan pers. Afi yang masih berusia 25 tahun, meski tidak bekerja di industri media, justru mempertanyakan keberadaan kebebasan pers.
“Setahuku memang regulasinya ada tapi dalam pelaksanaannya enggak terlalu optimal. Sebenarnya kita punya kebebasan pers, tapi pada kenyataannya enggak bebas-bebas juga,” kata Afi saat ditemui di warung kopi daerah Nologaten, Yogyakarta, Sabtu (13/5/2023) malam.
Sebagai generasi muda, Afi memang tak jauh dari arus informasi yang berseliweran di media sosial. Hal ini membuatnya mengetahui beberapa isu yang sedang hangat di Indonesia. Menurut pemaparannya, di Indonesia masih banyak berita yang diberedel.
“Ya, penyebabnya karena penegak hukum atau orang-orang yang bertanggung jawab sebenarnya gak tahu, gak sih? Gak tahu kita sudah di era kebebasan pers. Kalau ada upaya pelaporan, ada intimidasi berarti mereka belum tahu, dong, buat orang-orang yang berwenang, terutama para polisi yang enggak terlalu paham,” lanjut Afi.
“Karena aku enggak kerja di industri media, kebebasan bermedia dan kebebasan berpendapat itu tetap penting menurutku,” pungkasnya.
Sementara itu, Nisa, seorang mahasiswa semester 6 yang aktif di lembaga pers salah satu kampus di Yogyakarta, menilai pekerjaan sebagai wartawan adalah pekerjaan riskan.
“Di Indonesia, sependek yang saya tahu, kebebasan itu belum benar-benar terjadi. Setahu saya, masih ada tindakan represif terhadap jurnalis, seperti mendapatkan ancaman, dipersulit untuk melakukan peliputan, dibatasi ruang geraknya, mengalami pencemaran nama baik, dan lain-lain,” kata Nisa di sebuah warung kopi di Jalan Kaliurang, Yogyakarta, Minggu (14/5/2023).
“Seingat saya, beberapa bulan lalu juga ada kasus pembunuhan terhadap wartawan salah satu stasiun TV nasional. Menurut saya, kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis masih sering terjadi karena profesi tersebut termasuk dalam profesi yang riskan dan berpotensi mengancam kepentingan pihak-pihak tertentu,” tutur Nisa.
Tak jauh beda dengan pendapat dua perempuan itu, seorang pemuda bernama Yasin juga mengutarakan pendapatnya. Menurut pria 25 tahun itu, kebebasan pers di Indonesia menjadi simbol terbukanya kesempatan jurnalis untuk membuat produk jurnalistik tanpa rasa takut.
“Ya, saya pernah lihat beberapa kasus jurnalis menghadapi intimidasi dalam melakukan kerja-kerja jurnalisme. Ini gak cuma dialami jurnalis profesional di media, melainkan para jurnalis kampus di lembaga pers mahasiswa,” kata Yasin yang kebetulan duduk bersebelahan dengan Afi.
Yasin yang merupakan seorang pekerja lepas bercerita bahwa dirinya pernah menimba ilmu jurnalistik di dunia pers mahasiswa. “Adanya keleluasaan terhadap pers dapat mendorong perbaikan, terutama terkait tata kelola di pemerintahan.”
Menurut Yasin, salah satu pihak yang perlu dimintai tanggung jawab adalah pemerintah. Namun, selain pemerintah, perusahaan media sendiri juga tak bisa dilupakan perannya sebagai salah satu aktor.
“Perusahaan media juga harus terbuka jika diminta persoalan mengenai kesejahteraan buruhnya. Soalnya, tidak sedikit pula jurnalis masih dibayar murah dan kurang dapat jaminan mengenai pekerjaannya, serta mereka juga kesulitan untuk menyampaikan aspirasi terhadap perusahaan media,” kata Yasin sembari tersenyum tipis.
Sementara itu, pendapat lain juga muncul dari anak muda yang bekerja di sektor industri media. Ia adalah Rizal, seorang buruh di salah satu perusahaan media Jakarta. Pria berusia 24 tahun ini menyatakan pendapatnya ihwal kebebasan pers yang masih berkelindan dalam bidang pekerjaannya.
“Kebebasan pers menurutku, ya, bebas untuk meliput apa saja yang menurut media itu penting diberitakan untuk publik. Maksudnya gak ada intervensi, gak ada tekanan dari pihak-pihak lain yang menyebabkan liputan itu jadi terganggu,” kata Rizal saat ditemui di warung kopi daerah Caturtunggal, Sleman, pada, Sabtu (13/5/2023).
Rizal merupakan seorang pekerja media Jakarta yang bekerja dari Yogyakarta. Rizal sudah bergelut di dunia jurnalistik sejak ia mahasiswa ini justru menyentil masalah represi yang terjadi pada jurnalis di daerah-daerah. “Gak banyak media nasional yang mengaver soal Papua, misalnya. Atau gampangnya, ada berapa banyak media yang ada di Jakarta yang mengatasnamakan nasional tapi mengaver isu di Wonosobo, misalnya?”
Rizal melanjutkan, bahwa permasalahan kebebasan pers berkaitan erat dengan masalah situasi politik. Dengan melihat data yang dirilis RSF, kata Rizal, bisa jadi Timor Leste memiliki indeks kebebasan pers lebih bagus karena tidak ada represi.
Senada dengan perspektif Yasin, Rizal justru lebih mempersoalkan masalah pemenuhan hak-hak para pekerja media. “Ada, kok, masih misalnya yang media membayar penulis-penulisnya di bawah upah minimal itu masih ada. Aku pikir pembenahan-pembenahan hal-hal kayak gitu lebih penting daripada menaikkan indeks kebebasan pers itu, sih.”
Penulis: Sunardi
Editor: Yoga
Visual: Vito
[…] itu tentu makin membuat indeks kebebasan berpendapat di Italia turun. Bahkan, masih merujuk pada The Guardian, Italia jadi salah satu negara dengan […]
[…] Dalam video yang diproduksi Amnesty International, dijelaskan bagaimana Pegasus mengancam kebebasan sipil. […]
[…] di atas pernah dipublikasikan di Fomomedia.id pada 22 Mei […]