FOMOMEDIA – Di tengah berbagai krisis, Afrika Selatan kembali mendapat momentum yang pada 1995 pernah menyelamatkan mereka dari perpecahan: menjuarai Piala Dunia Rugbi.
Sabtu, 28 Oktober 2023 lalu, Afrika Selatan berhasil menjuarai Piala Dunia Rugbi edisi ke-10. Mereka mengalahkan Selandia Baru dengan skor 12-11 pada pertandingan final yang berlangsung di Prancis.
Kemenangan tersebut menahbiskan Afrika Selatan sebagai pemegang gelar juara dunia Rugbi dua kali berturut-turut. Sebelumnya, negara itu juga menjadi juara pada Piala Dunia Rugbi ke-9 pada 2019.
Kendati bukan pertama kalinya, kemenangan ini begitu penting bagi negara yang tengah dilanda beragam masalah tersebut.
“Ada banyak hal yang salah di negara kami, kami garis pertahanan terakhir,” kata kapten tim nasional, Siya Kolisi, kepada penyiar ITV Sport.
Di lapangan rugbi, para pemain Afrika Selatan itu tidak hanya berjuang untuk mengalahkan tim Selandia Baru. Mereka juga berjuang untuk negara mereka, yang tengah dilanda berbagai persoalan: tingkat pengangguran tinggi, krisis energi yang sebabkan rangkaian pemadaman listrik yang tak menentu, hingga tingkat ketimpangan yang tinggi— menurut IMF, tertinggi di dunia.
Kolisi percaya, memenangi kembali Piala Dunia akan sangat berarti bagi rakyat Afrika Selatan.
“Ada banyak sekali orang yang datang dari tempat asalku yang tidak berdaya dan ada banyak sekali perpecahan, tetapi kami menunjukkan dengan orang-orang dari latar belakang yang berbeda bahwa bekerja sama itu mungkin. Bukan sekadar di lapangan rugbi, tapi dalam kehidupan secara umum,” terang Kolisi.
Menjuarai Piala Dunia, Memersatukan Negara
Rugbi, dan khususnya Piala Dunia, punya peran besar dalam pembentukan sejarah Afrika Selatan sebagai negara. Presiden Nelson Mandela pernah berupaya menyatukan negara di era pasca-apartheid melalui olahraga rugbi.
Setelah dipilih rakyat menjadi presiden berkulit hitam pertama di Afrika Selatan, salah satu tantangan pertama Mandela adalah menyatukan rakyat. Sebelumnya, masyarakat Afrika Selatan terbelah karena sistem pemerintahan apartheid: politik diskriminasi oleh orang kulit putih keturunan Eropa di sana kepada penduduk kulit berwarna. Pengalaman puluhan tahun, tentu tak bisa begitu saja dihilangkan.
Keterbelahan itu tercermin pada pertandingan rugbi antara Afrika Selatan melawan Inggris. Tim lawan menang telak. Warga kulit putih kecewa melihat tim Afrika Selatan kalah. Namun warga kulit hitam justru senang lantaran mereka mendukung tim Inggris. Mereka tak mendukung tim negaranya sendiri, sebab tim berjuluk Springboks itu masih melakukan politik apartheid yang mengutamakan pemain berkulit putih.
Menyaksikan itu, perombakan internal diupayakan Mandela agar Springboks bisa menjadi role model masyarakat saat bertanding di Piala Dunia Rugbi 1995, di mana Afrika Selatan adalah tuan rumahnya.
Springboks lantas keluar sebagai juara dunia pada 1995 itu. Kemenangan tersebut memersatukan masyarakat Afrika Selatan yang sebelumnya sulit mengenyahkan tembok antarras.
Kisah ini tertulis dalam biografi berjudul Playing the Enemy: Nelson Mandela and the Game that Made a Nation karya John Carlin. Buku itu telah diadaptasi oleh sutradara Clint Eastwood menjadi film berjudul Invictus (2009), diperankan Morgan Freeman dan Matt Damon.
“Lihatlah apa yang dilakukan olahraga ini pada tahun 1995,” tutur Kolisi, kapten yang kini membawa Springboks kembali menjuarai dunia. “Tanpa itu, aku tak akan berada di sini.”
“Ada orang-orang sebelumku yang berjuang agar orang-orang yang terlihat sepertiku bisa bermain di tim ini,” ujar atlet berusia 32 tahun itu. “Jadi aku punya pekerjaan untuk memastikan memberi semua yang kubisa kepada jersei ini untuk menginspirasi generasi berikutnya bahwa mereka bisa mendapatkan peluang seperti ini.”
Siya Kolisi Sang Kapten
Kolisi tumbuh dalam kemiskinan di kota Zwide, tepat di luar Port Elizabeth. Suami dari perempuan kulit putih bernama Rachel Kolisi itu menjadi kapten kulit hitam pertama yang memimpin Springboks. Ia kapten kedua yang membawa sebuah negara menjadi juara dunia berturut-turut, setelah Richie McCaw dari Selandia Baru.
Sosok Kolisi semacam anomali. Pencapaiannya mewakili mimpi yang sering mustahil terwujud di Afrika Selatan. Kendati begitu, ia ingin pencapaiannya bisa didapatkan lebih banyak orang.
Maka, setelah Springboks menjuarai Piala Dunia Rugbi pada 2019, ia mendirikan Kolisi Foundation dengan tujuan “mengubah kisah ketidaksetaraan di Afrika Selatan”.
Kemenangan Springboks atas All Blacks (julukan Selandia Baru) telah mengamankan Afrika Selatan sebagai negara yang paling sering menjuarai Piala Dunia Rugbi.
“Siya Kolisi melakukan ini untuk kami,” ujar penggemar Springboks bernama Tshidiso Mnisi. “Semua orang di tim melakukannya untuk kami. Kami bersama. Kami bangga sebagai orang Afrika Selatan.”
Penulis: Ageng
Editor: Yoga
Ilustrasi: Vito