FOMOMEDIA – Side hustle memang menjadi tren. Akan tetapi, apakah mereka yang memiliki side hustle ini cuma sekadar ikut-ikutan?
Ketika masih tinggal di Yogyakarta, saya merasa gaji upah minimum provinsi (UMP) Jakarta sudah sangat tinggi. Setidaknya, gaji hampir lima juta per bulan lebih okelah ketimbang UMP Yogyakarta.
Sangkaan saya semakin kuat ketika warganet Twitter kerap membanding-bandingkan gaji di Kota Pelajar dengan di Ibu Kota. Mereka acapkali mengeluhkan tidak seimbangnya kenaikan harga kebutuhan dengan UMP yang tak kunjung naik.
Prasangka itu pupus setelah dua tahun belakangan saya tinggal di Jakarta dan mendapatkan gaji ala Ibu Kota itu. Ternyata, gaji saya dan biaya hidup di Jakarta tidak sebanding—walau saya tinggal di Pulogadung, Jakarta Timur, yang masih murah ketimbang daerah Jakarta Pusat dan Selatan.
Padahal, ketika masih di Yogyakarta, dengan gaji Rp2 juta per bulan, kebutuhan saya terpenuhi. Bahkan, saya masih bisa sesekali mengirim uang ke orang tua di kampung.
Di Jakarta, gaji saya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selama satu bulan. Ketidakcukupan itu membuat saya memutar otak untuk mencari pekerjaan lain atau bahasa kerennya side job atau side hustle. Selain untuk memenuhi kebutuhan biaya hidup, saya juga mesti menabung karena dana cadangan sepertinya sebuah keharusan.
Jika tidak seperti itu, “gali lubang tutup lubang” akan terus terjadi. Syukurnya, pekerjaan saya sebagai penulis cukup banyak dibutuhkan oleh penyedia lapangan kerja.
Menurut Glints, sektor kepenulisan adalah salah satu dari tujuh pekerjaan yang dibutuhkan di era digital sekarang. Ditambah lagi, pandemi Covid-19 melahirkan kultur baru, yakni bekerja jarak jauh (Work from Anywhere/WFA). Budaya baru ini juga makin memudahkan pelaku gig economy yang memungkinkan seseorang bekerja secara fleksibel dari mana saja.
Saat bekerja sebagai penulis di media daring di Jakarta Pusat, saya menghabiskan sekitar delapan jam di kantor. Sepulang dari kantor, sesampai di rumah sekitar pukul 8 malam, saya lanjut bekerja untuk menyelesaikan pekerjaan lepas saya, pesanan dari salah satu kementerian di bilangan Jalan Sudirman.
Delapan jam di kantor dan sekitar empat jam sebagai freelancer di rumah—dan tiga jam (pulang-pergi) di jalan—bukanlah aktivitas menyenangkan dan menyehatkan. Keharusan duduk berjam-jam mengundang risiko yang tidak akan menguntungkan saya di masa depan.
Ketika mulai mengerjakan pekerjaan lepas itu, badan saya sebenarnya sudah terasa lelah, otak sumpek, mood juga sudah tidak ada. Namun, mau bagaimana lagi, saya harus kerja. Kalau tidak, saya tidak mampu menabung dan juga tidak mengirim uang pada orang tua di kampung.
Walau gaji hasil dari side hustle memang tidak sebanding dengan gaji pekerjaan utama saya, hanya separuh, tetapi dari itu bisa menutupi beberapa pengeluaran tiap bulan.
***
Saskia Astuti (32 tahun), seorang peneliti pendidikan, punya pengalaman tentang side hustle. Dia menerima pekerjaan tambahan apabila mendukung pekerjaan utamanya. Jika tidak, dia akan tolak. Sebab, menurutnya, side hustle tidak melulu tentang uang, tetapi juga membantu meng-upgrade ilmu dan skill sesuai di bidang yang dia geluti.
Sebelum menjadi seorang peneliti, Saskia sempat 10 tahun menjadi guru di sekolah swasta di Jakarta Barat. Guru adalah pekerjaan utamanya, walau gajinya di bawah UMP.
Selama 10 tahun tersebut, dia banyak mendapat tawaran side job menjadi guru lembaga bimbingan belajar (bimbel) yang sudah cukup terkenal. Tawaran itu dia terima. Selain karena untuk tambahan income, pekerjaan tambahan itu sesuai dan membuatnya bertungkus lumus dengan tugas-tugasnya sebagai guru.
Dia juga bisa sembari meningkatkan teknik mengajarnya. Sebab, di sekolah tempat dia mengajar tidak ada peningkatan skill, sedangkan di lembaga bimbel dia dituntut kreatif dan diberikan beasiswa untuk meningkatkan metode mengajar yang disukai para siswanya.
Saskia, yang sekarang bekerja di lembaga riset di bidang pendidikan, kerap menerima pekerjaan tambahan dari lembaga pendidikan milik pemerintah maupun swasta. Menurutnya, honornya tidak seberapa, lebih tinggi gajinya di kantor, tetapi karena tawaran pekerjaan itu sesuai dengan bidang yang dia geluti saat ini, yakni meneliti di bidang pendidikan, dia ambil saja karena, toh, itu juga bagian dari kerja-kerjanya di kantor.
Dia sangat bersyukur dengan pekerjaan yang dia lakoni. Sebab, bagi Saskia, mendapat tawaran pekerjaan sampingan yang linear dengan pekerjaan utama adalah sebuah privilese. Namun, dia juga sering dapat pekerjaan sampingan jauh dari jenis pekerjaan utamanya.
Misalnya dulu, pekerjaan utamanya mengajar, tetapi side job-nya menulis. Mengajar dan menulis memang, menurut Saskia, pekerjaan yang berbeda. Namun, mengapa tidak? Lagi pula, guru juga harus mampu menulis. Dari proses ini, akhirnya di banyak kesempatan, dia mendapat tawaran menulis modul pembelajaran atau buku bahan ajar sekolah. Dapat uang dan juga dapat ilmu yang bermanfaat.
***
Kami juga menghubungi Ilda Karwayu (29 tahun), seorang pengajar di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
Ilda bekerja sehari-hari menjadi mengajar di lembaga kursus bahasa. Pengakuannya, dia tidak mendapatkan gaji sesuai UMP NTB, yang berkisaran 2,2 juta. Upahnya sesuai jumlah pertemuan mengajar.
Gaji minimnya itu membuat Ilda harus mencari side hustle. Sebab, kalau hanya mengandalkan gaji dari mengajar, itu tidak akan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Alih-alih menyisihkan untuk orang tua, buat diri sendiri saja tak cukup.
Setelah merasakan realitas gaji per bulan yang tak sebanding dengan biaya hidup, Ilda harus mencari cara untuk menemukan sumur cuan. Akhirnya, berbagai tawaran kerja sebagai pekerja lepas dari penjuru Tanah Air muncul. Ada dari Makassar, dari Jakarta, dari kampus-kampus di Yogyakarta, dan yang pasti adalah tawaran kerja berasal dari kampung halamannya.
Penulis buku puisi Binatang Kesepian dalam Tubuhmu (2020) ini kadang menjadi juri lomba menulis, menerjemahkan tulisan web pariwisata, menjadi copywriter untuk media sosial, sampai menghandle proyek literasi di sekolah-sekolah.
Setelah menerima tawaran yang banyak itu, akhirnya honor dari beberapa side hustle selama satu bulan lebih tinggi ketimbang gajinya di lembaga kursus di tempat dia mengajar. Dari situ, Ilda bisa mengirim uang untuk orang tuanya dan menyisihkan dana kesehatan.
Akan tetapi, semuanya punya risiko. Banyaknya pekerjaan tambahan yang Ilda ambil mengurangi waktu istirahatnya. Aktivitas untuk menunjang kariernya sebagai penulis—seperti menulis, membaca, menonton, dan ikuti acara sastra—pun terganggu.
***
Tim peneliti dari Universitas Andalas melakukan survei bahwa fenomena memiliki lebih satu pekerjaan ini disukai oleh Generasi Z. Alasannya, mereka lebih termotivasi dan tertantang. Kemudian, sistem kerja yang fleksibel dan budaya digital juga mendukung terhadap fenomena side hustle.
Sebenarnya, mengambil side hustle, boleh-boleh saja, asal tidak mengganggu pekerjaan utama. Dan, yang paling penting, side hustle tidak terlalu memotong durasi istirahat kita, mengambil waktu bersama keluarga, dan merusak tubuh dan pikiran karena burnout dengan semua pekerjaan. Di sinilah konsep kesadaran kerja seimbang atau work life balance diperlukan.
Jika kita tidak mengambil side hustle dan ingin memiliki gaji yang tinggi, mungkin salah satu jalan keluarnya adalah tingkatkan kemampuan diri atau upskilling. Kemampuan berbahasa asing seperti Inggris atau Mandarin, misalnya, bisa mengantarkanmu pada peluang-peluang yang sebelumnya tidak pernah kamu dapatkan.
Penulis: Safar
Editor: Irwan
Ilustrator: Vito