Panic! at the Disco Bubar, Ini 5 Alasan Kenapa Mereka Begitu Populer

by | Feb 3, 2023

Hiburan | Musik | Panic! at the Disco

Panic! at the Disco bubar setelah 19 tahun eksis. Apa yang membuat mereka begitu sukses dan populer?

Setelah hampir tujuh tahun mengusung Panic! at the Disco seorang diri, Brendon Urie memutuskan untuk “mengeutanasia” proyek yang melambungkan namanya tersebut. Pada 24 Januari 2023, Urie mengumumkan bahwa, setelah tur Eropa dan Britania Raya tahun ini, Panic! at the Disco bakal dibubarkan.

“Aku akan menutup bagian hidupku yang ini dan mengalihkan fokus dan energi pada keluargaku, dan dengan demikian tidak akan ada lagi Panic! at the Disco,” tulis Urie dalam unggahan di akun Instagram resmi Panic! at the Disco.

Dalam unggahan tersebut, Urie yang kini berusia 35 tahun turut mengungkapkan alasan membubarkan Panic! at the Disco. Saat ini, dia dan pasangannya tengah menanti kehadiran seorang anak. Urie ingin fokus menjadi ayah dan itulah mengapa dia menyudahi petualangannya sebagai musisi, setidaknya untuk saat ini.

Surat perpisahan Brendon Urie untuik fans Panic! at the Disco. (Foto: Instagram/@panicatthedisco)

Bagi milenial, pengaruh Panic! at the Disco sulit dinafikan. Mereka yang tumbuh dewasa pada dekade 2000-an menjadi saksi bagaimana band yang didirikan Urie bersama tiga kawannya—Ryan Ross, Spencer Smith, Brent Wilson—ini menjadi salah satu penguasa radio dan MTV.

Popularitas Panic! at the Disco sendiri tidak bisa dipisahkan dari meledaknya subgenre musik emo yang kala itu telah memasuki gelombang ketiga. Diawali oleh band-band seperti Taking Back Sunday dan Brand New, lalu diikuti grup-grup macam Fall Out Boy, My Chemical Romance, Paramore, dan Panic! at the Disco sendiri, emo menjadi subkultur yang digandrungi jutaan anak muda di dunia.

Memang, ada cukup banyak kritik yang dialamatkan pada band-band emo gelombang ketiga tersebut. Tak sedikit yang menyebut mereka “bukan emo sungguhan” atau “emo palsu” karena “emo yang sesungguhnya adalah emo yang berakar dari hardcore”. Namun, keberhasilan mereka tak bisa dipungkiri.

Panic! at the Disco sendiri tidak cuma sukses secara komersial. Mereka pun kerap masuk nominasi penghargaan bergengsi, mulai dari Grammy sampai Tony Awards. Dengan kata lain, band yang satu ini tak cuma populer, tetapi juga punya kualitas.

Nah, sebenarnya, apa saja yang membuat Panic! at the Disco begitu sukses dan populer? FomoMedia coba mengupasnya di sini.

Momentum yang Pas

Panic! at the Disco dibentuk pada 2004 dan, pada masa itu, popularitas pop-punk masih hangat-hangatnya. Di saat nyaris bersamaan, band-band emo gelombang ketiga mencuat ke permukaan. Musik yang mereka bawakan tak berbeda jauh dengan pop-punk yang lebih dulu melejit.

Pop-punk sendiri menjadi fondasi bagi album perdana Panic! at the Disco, A Fever You Can’t Sweat Out yang dilepas pada 2005. Distorsi lembut dan tempo cepat menjadi benang merah yang menjalin lagu-lagu di dalamnya jadi satu kesatuan. Meski begitu, ada kekhasan yang mereka sisipkan di tiap nomornya.

Hit single mereka, I Write Sins Not Tragedies, misalnya, memiliki unsur pop barok  yang kental, terutama di bagian intro. Kekhasan ini pada akhirnya membuat Panic! at the Disco menonjol dibanding band pop punk lainnya.

Tampilan yang “Lebih Ramah”

Keunggulan ini tak cuma jadi milik Panic! at the Disco, melainkan banyak band pop-punk dan emo gelombang ketiga. Para personel band ini terlihat seperti anak baik-baik yang dibesarkan orang tua berada di wilayah suburban. Menurut pengamat musik Finn McKenty dalam kanal YouTube-nya, Punk Rock MBA, tampilan elok band-band ini sangat membantu popularitas mereka.

Panic! at the Disco tahun 2005. (Foto: Redfern/Nigel Crane)

McKenty menyebut, tampilan band-band pop-punk serta emo gelombang ketiga itu membuat para orang tua tidak mengkhawatirkan anak remaja mereka. Oleh karena itu, para remaja itu pun lalu diizinkan untuk menghadiri konser, membeli CD dan merchandise, dan sebagainya.

Sudah begitu, tampilan yang “lebih ramah” tersebut pun membuat band-band seperti Panic! at the Disco jadi lebih mudah diterima industri hiburan. Ketika mereka tampil di TV atau nampang di majalah, itu bukan hal aneh karena penampilan para personil band-band itu lebih mirip boyband ketimbang rocker.

Musik yang Renyah

Soal musik yang dibawakan Panic! at the Disco sudah sedikit disinggung di atas. Namun, itu baru permulaan. Sebab, kiprah mereka tidak cuma berhenti di A Fever You Can’t Sweat Out. Album kedua mereka, Pretty. Odd membuat band ini lebih populer lagi. Sebab, seiring dengan semakin memudarnya popularitas pop-punk di level arus utama, Panic! at the Disco sukses menemukan identitasnya sendiri lewat Pretty. Odd yang dirilis pada 2008.

Pretty. Odd sendiri dirancang sebagai sebuah album konsep yang banyak memasukkan pengaruh-pengaruh dari dekade 1960-an. Tak sedikit yang menyebut album ini mirip sekali dengan album milik The Beatles dan The Beach Boys. Di sini, pop-punk dan emo ditinggalkan. Rock menjadi fondasi utama dan pengaruh-pengaruh klasik semakin kentara.

Lewat Pretty. Odd, Panic! at the Disco sukses menjangkau audiens baru, khususnya mereka yang tidak terlalu nyaman dengan musik keras. Ujung-ujungnya, Panic! at the Disco jadi semakin radio friendly dan tambah populer. Mereka pun tidak lagi dikenal sebagai band emo/pop-punk, tetapi sebagai Panic! at the Disco.

Kemauan Berevolusi

Rolling Stone menyebut Pretty. Odd sebagai salah satu aksi paling berani dalam musik rock dan mereka benar. Bukan hal gampang beralih dari emo/pop-punk ke psikadelika dan mereka berhasil melakukannya. Kemauan dan keberanian berevolusi ini membuat Panic! at the Disco tak cuma jadi favorit pendengar, tetapi juga para kritikus.

Setelah rampung dengan Pretty. Odd, Panic! at the Disco merilis album ketiganya, Vices & Virtue, pada 2011. Di sini, mereka memilih untuk memadukan apa yang berhasil dari album pertama dan kedua. Atmosfer barok masih begitu terasa, terutama di hit single-nya, The Ballad of Mona Lisa. Namun, di lagu yang sama, ritme serta distorsi ala emo/pop-punk dihadirkan kembali.

Di album keempat, Too Weird to Live, Too Rare to Die!, Panic! at the Disco kembali berevolusi. Sayangnya, evolusi yang mereka lakukan di sini membuat mereka jadi terdengar kelewat generik. Sebab, album ini membuat Panic! at the Disco lebih sulit dibedakan dengan band-band seperti Imagine Dragons atau Maroon 5. Kebetulan pula, setelah album ini, Panic! at the Disco sebagai sebuah band resmi bubar jalan.

Brendon Urie

Harus diakui, Brendon Urie adalah motor utama Panic! at the Disco. Kualitas vokalnya begitu prima, corak suaranya amat khas, dan dia juga dianugerahi tampilan fisik yang aduhai.

Aksi panggung Brendon Urie. (Foto: Instagram/@panicatthedisco)

Sebagai seorang vokalis, Urie terbilang serbabisa. Itulah mengapa dia tak cuma terlibat dengan Panic! at the Disco, melainkan juga dengan musisi dan band lain, termasuk Taylor Swift. Urie juga penulis musik dan lirik yang andal, di mana salah satu karyanya, yang dia tulis untuk pertunjukan teater SpongeBob SquarePants, dinominasikan jadi salah satu lagu terbaik versi Tony Awards.

Selepas bubar jalannya Panic! at the Disco sebagai sebuah band, Urie tetap konsisten berkarya. Bahkan, dari 2016 sampai 2022, dia sukses menelurkan tiga album. Memang, popularitas Panic! at the Disco sudah tak seperti pada pertengahan 2000-an. Akan tetapi, konsistensi Urie dalam berkarya tetap layak diacungi dua jempol.

Penulis: Yoga

Editor: Irwan

Ilustrator: Vito

BAGIKAN :

ARTIKEL LAINNYA

KOMENTAR

Subscribe
Notify of
guest
5 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
rrinimabi

Thank you very much for sharing, I learned a lot from your article. Very cool. Thanks.

Your article helped me a lot, is there any more related content? Thanks!

binance Registrácia

Can you be more specific about the content of your article? After reading it, I still have some doubts. Hope you can help me.