FOMOMEDIA – Kendaraan pribadi adalah sumber kemacetan. Akan tetapi, kendaraan umum pun belum jadi opsi populer di Jakarta.
Belakangan, makin banyak netizen mengeluhkan kemacetan di Jakarta (bukannya dari dulu?) dan komentar masyarakat meminta pemerintah Provinsi DKI Jakarta—yang sekarang dipegang kendali oleh Penjabat Gubernur Heru Budi Hartono—agar menyelesaikan masalah turun temurun ini.
Selain banjir, kemacetan adalah pekerjaan rumah yang seakan mustahil diselesaikan setiap gubernur Jakarta. Kita coba lihat datanya tujuh tahun terakhir. Menurut TomTom Traffic Index Ranking tahun 2022, kemacetan Jakarta berada di peringkat ke-29 dari 389 kota di dunia.
Catatan itu lebih buruk ketimbang tahun 2021 ketika Jakarta berada di urutan ke-46 dari 404 kota. Lalu pada 2020, Jakarta berada di posisi ke-31.
Meski demikian, jika kita bandingkan dengan periode 2017-2019, sebetulnya ada perbaikan signifikan dalam peringkat Jakarta. Pada 2017, Jakarta masih berada di urutan ke-4, lalu membaik pada 2018 dengan menduduki urutan ke-7, dan terus membaik pada 2019 di mana peringkat Jakarta turun ke tabel nomor 10.
BACA JUGA:
Sejak tahun 2017 sampai tahun 2021 terjadi penurunan peringkat yang signifikan. Artinya, kemacetan Jakarta cukup terurai. Akan tetapi, jangan lupa bahwa pada 2020 dan 2021 pandemi COVID-19 masih melanda Indonesia dan Jakarta adalah kota pertama di Indonesia yang menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Banyak perusahaan yang menerapkan work from home (WFH). Secara otomatis, orang-orang tidak bepergian keluar rumah dan akhirnya jalan pun menjadi sepi. Kini, PSBB telah dicabut dan orang-orang kembali hidup normal. Mobil dan motor keluar dari garasi, memenuhi jalan, dan akhirnya memadati setiap ruas jalanan di Ibu Kota.
Pada saat pandemi, jumlah penjualan mobil menurut Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) memang menurun sekitar 50% pada 2019. Namun, pada 2021, angka penjualan mobil naik lagi menjadi 800 ribu unit dan, pada 2022, penjualan mobil kembali ke angka normal, yaitu 1 juta unit selama setahun.
Mengapa Kendaraan Umum Belum Populer?
Kita berandai-andai, nih. Seandainya kendaraan pribadi tetap berada di garasi rumah masing-masing lalu semua orang memakai kendaraan umum, keluhan netizen dan masyarakat terhadap kemacetan hampir bisa dipastikan tidak ada lagi. Semua orang tahu sumber kemacetan adalah kendaraan pribadi. Tapi, mengapa masyarakat masih memakai kendaraan pribadi dan belum beralih ke transportasi publik?
Sebelum menjawab itu, kita cek dua negara tetangga kita, yaitu Malaysia dan Singapura. Menurut Menteri Perhubungan RI Budi Karya Sumadi dalam webinar bersama SBM ITB pada tahun 2020, pangsa angkutan umum di Jakarta, Bandung, dan Surabaya baru berada di angka 20%.
Angka partisipasi masyarakat di tiga kota besar Indonesia itu, sesuai paparan Budi Karya Sumadi, jauh tertinggal dari Singapura yang pangsa angkutan umumnya mencapai lebih 50% dan Kuala Lumpur yang tingkat penggunaan angkutan umumnya berada di angka 20-50%.
Bisa dibilang, kualitas (serta kuantitas) transportasi publik di Jakarta lebih baik daripada kota lain di Indonesia. Di Jakarta, ada angkutan massal seperti MRT, LRT, Commuter Line, dan Bus Transjakarta. Angkot-angkot yang kerap ngetem sembarangan juga (sebagiannya) sudah terintegrasi dengan sistem transportasi publik milik pemerintah melalui Jaklingko. Sejumlah angkot bahkan kini telah dipasangi pendingin udara.
Akan tetapi, itu belum cukup mengajak orang Jakarta memakai transportasi publik. Jakarta masih macet, apalagi di saat musim hujan.
“Kendaraan umum di Jabodetabek belum terhubung dengan baik. Saat kerja di Jakarta Pusat, saya masih nyaman menggunakan Transjakarta. Kantor dan halte cukup dekat, jalan kaki dari halte ke kantor hanya butuh 10 menit,” kata SD (32 tahun) saat diwawancarai oleh redaksi FomoMedia.
“Tapi, sekarang, aku gak pakai kendaraan umum lagi karena aku sekarang kerja di Depok. Dari kantor ke halte jauh, menghabiskan 40 ribu pulang pergi naik ojek online. Untuk lebih hemat, saya sekarang pakai motor sendiri. Isi bensin Pertamax 3 liter (sekitar Rp30-an ribu) habis untuk 2 hari. Hemat banget,” tambah SD.
Pengalaman meninggalkan transportasi publik dialami juga oleh guru sekolah dasar, AT (30 tahun). Sejak kuliah dia menggunakan Transjakarta dan angkot (ketika belum terintegrasi). Tapi, sekarang AT lebih nyaman memakai motor pribadi.
“Pakai motor di Jakarta lebih sat-set, memudahkan dalam mobilitas. Di beberapa titik, memang ketemu kemacetan, tapi bisa nyelip kalau pakai motor. Duh, kalau pakai transjakarta, lamanya minta ampun, dan banyak lokasi belum terjangkau. Gak tahu dengan Jaklingko sekarang, yah,” ucap AT.
AT dan SD memiliki pendapat yang sama bahwa Transjakarta tidak tepat waktu. Mereka bisa menunggu 30 menit sampai 1 jam di halte. Belum lagi perjalanan ke tempat tujuan memakan waktu yang lumayan lama. Sebab, banyak kendaraan yang menyabotase jalur khusus bus, baik yang sudah dibatasi beton maupun baru ditandai dengan garis marka.
Selain itu, banyak faktor lain yang membuat orang-orang tidak mau (atau pikir-pikir) naik kendaraan umum, seperti maraknya tindak pelecehan seksual di kendaraan umum, baik di Transjakarta maupun Commuter Line.
“Pelecehan itu bisa terjadi karena jumlah penumpang yang membeludak dan karena masa tunggu yang lama tadi, maka penumpang berhimpit-himpitan,” ucap SD.
Belum lagi ketika kita membaca curhatan pengguna KRL yang transit di Stasiun Manggarai. Mereka harus berhimpit-himpitan di kereta, lalu setelah sampai di Stasiun Manggarai, mereka harus berjuang melewati tangga manual yang sempit dan dipenuhi dengan gelombang manusia.
Ada sebuah sindiran dari netizen Twitter yang membagi pengalamannya ketika transit di Manggarai. Menurutnya, “Gue emang setia dalam berteman, tapi kalau soal transit di Manggarai, maaf kita urus hidup masing-masing.”
Ketika situasi sudah separah ini, mau tak mau yang mesti dimintai pertanggungjawaban adalah pemerintah. Alih-alih terus menggenjot penjualan kendaraan pribadi, sudah waktunya pemerintah mengalihkan fokus kepada transportasi publik.
Sebab, pelayanan transportasi publik yang baik akan memiliki manfaat yang banyak untuk kota dan negara, bahkan dunia. Misalnya, membantu mengurangi emisi karbon, putaran ekonomi semakin meningkat karena tidak ada kemacetan, dan tak kalah bermanfaatnya adalah psikologi masyarakat tetap sehat. Dengan kata lain, transportasi publik yang baik adalah win-win solution.
Penulis: Safar
Editor: Yoga
Ilustrator: Vito