Ojek Daring dan Wajah Muram Demokrasi Indonesia

by | Jul 18, 2023

Demokrasi | Media Sosial | Politik | Sosial

FOMOMEDIA – Dari obrolan santai dengan pengemudi ojek daring, saya belajar bahwa demokrasi Indonesia belum menunjukkan wajah terbaiknya…

Pukul 3 sore, di suatu Jumat di pertengahan Juni, saya dan tiga teman lainnya bergegas menuju kawasan Blok M. Seperti biasa, sore itu hawa Jakarta terasa panas sekali. 

Walau tidak seramai tahun 1990-an, Blok M masih jadi destinasi hangout favorit masyarakat. Di sana, terlihat pengemudi ojek hilir mudik mengantar-jemput penumpang. Meski sudah tak sekencang dulu, denyut nadi Blok M masih begitu terasa.

FomoKepo, sebuah tayangan terbaru FomoMedia berformat video singkat, adalah alasan kami berempat beranjak ke Blok M sore itu. Kebetulan, kami memang mencari para pengemudi ojek yang sedang berada di kawasan untuk diwawancarai soal subsidi kendaraan listrik. Kami penasaran, apakah para pengemudi ojek itu merasa bahwa subsidi yang ditawarkan pemerintah sudah tepat?

Sesampai di parkiran luar Blok M, kameramen kami, Wahyu, langsung menyiapkan perlengkapan rekaman. Sementara itu, saya komat-kamit membaca ulang materi wawancara. Tidak jauh dari parkiran motor, kami melihat seorang pengemudi ojek daring yang baru saja mengantar penumpang.

“Kayaknya ojek sana bisa kita wawancarai. Semoga dia mau,” ucap saya pada ketiga teman lainnya. Kami mempercepat langkah kaki. 

@fomomedia.id

Hai Gen Fomo! waktunya fomoookepo! Pemerintah sudah secara resmi merilis kebijakan subsidi untuk pembelian kendaraan listrik dengan harapan bisa ningkatin jumlah pengguna kendaraan listrik di Indonesia, bahkan sampai ngeluarin dana triliunan buat kendaraan listrik di tahun 2023 dan 2024! Tapi yaa tetep aja kebijakan ini masih jadi pro-kontra masyarakat. Kira-kira gimana ya tanggapan mereka soal kebijakan ini? Mending kita kepoin mereka yuk! #FomoKepo #FomoMedia #GenerasiMuda #GenFomo  #PerspektifAnakMuda #fyp #voxmedia #viral #voxpop #subsidikendaraanlistrik #salamsatuaspal #kendaraanlistrik #fyp #isuterkini #isuviral #ojolindonesia #fypシ゚viral #nanyananyakeorang #fyppppp

♬ original sound – Fomo Media – Fomo Media

Ternyata, pengemudi ojek daring itu tidak bersedia diwawancarai dengan alasan “baru saja terima penumpang”. Kami tidak memaksa. Kami paham bahwa kerja sebagai pengemudi ojek mesti mengejar target per hari. Setelah mengucapkan terima kasih, kami pun beranjak pergi. 

Tak jauh dari tempat kami sekarang, sekitar sepuluh meter, kami menemukan seorang pengemudi yang sedang mengotak-atik gawai. Kami dekati dia dan jelaskan maksud kami. Syukurnya, pengemudi ojek tersebut bersedia diwawancarai. Tidak lama proses wawancaranya, tak sampai dua menit.

Kemudian kami bergegas ke arah pintu bus Transjakarta. Di sekitarannya, terlihat beberapa bajaj dan motor terparkir. Asumsi kami, itu motor milik pengemudi ojek daring sebab warna helmnya persis mirip dengan aplikasi jasa ojek tertentu. 

Keberhasilan mendapatkan narasumber pada percobaan kedua menumbuhkan optimisme di dada saya. “Ah, pasti yang selanjutnya lancar-lancar saja, nih,” batin saya ketika melihat seorang pengemudi sedang asyik merokok dan memainkan ponsel di samping sebuah kios.

Dan benar saja. Setelah memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan kami, pengemudi ojek itu menanggapi dengan antusias. Namun, begitu saya sebutkan bahwa wawancara itu akan ditayangkan di kanal media sosial FomoMedia, seketika pengemudi itu menolak berbicara.

“Waduh, ada apa, nih?” pikir saya khawatir.

Namun, saya tak mau berspekulasi macam-macam. Saya memilih untuk bertanya lagi, “Memangnya kenapa, ya, Pak?”

Ilustrasi ojek daring. (Foto: Kompas)

Rupanya, kata “media”-lah yang membuat pengemudi itu sedikit ketakutan. “Saya tidak bisa, takut dilihat oleh bos perusahaan,” tuturnya kepada saya. Rupanya, pengemudi ojek itu khawatir ucapan-ucapannya viral dan menyinggung pihak tertentu.

Mendengar itu, saya tak mau menyerah begitu saja. Sebab, pengemudi ojek yang satu ini cocok sekali untuk jadi narasumber dalam wawancara kami karena dia adalah pengguna sepeda motor listrik.

“Gak apa-apa, Pak. Bapak hanya kasih pendapat terhadap kebijakan pemerintah tentang subsidi listrik, apalagi Bapak juga pengguna langsung,” ujar saya meyakinkan.

Akhirnya, pengemudi itu pun bersedia angkat bicara. Akan tetapi, awalnya dia sama sekali tak mau menyinggung persoalan subsidi. Pengemudi itu hanya bercerita soal betapa hemat kendaraan listrik yang dia gunakan. Katanya, dengan motor listrik, dia cukup mengeluarkan uang sewa Rp50 ribu dalam sehari.

Mendengar jawaban itu, kami semua tersenyum. Saya pun menimpali, “Nah, itu Bapak bisa jawab. Dan jawaban Bapak aman, kok. Tidak berbahaya.” Kami serentak tertawa.

Alam Demokrasi Tercemar Arogansi

Para pembaca sekalian, ini adalah kisah yang berakhir bahagia. Tak cuma pengemudi itu akhirnya bersedia menuturkan pengalamannya, dia juga mau mengeluarkan pendapat soal subsidi kendaraan listrik setelah melihat rekannya melakukan hal yang sama.

Meski begitu, para pembaca yang budiman, kisah ini bukanlah soal subsidi kendaraan listrik atau pengemudi ojek daring. Ini adalah kisah yang saya jadikan pengingat bagi diri saya sendiri untuk tidak sembarangan bicara di media sosial.

Ilustrasi media sosial.

Sepintas, ucapan pengemudi ojek daring itu terdengar bijak. Bukan tanpa alasan Indonesia mengenal pepatah berbunyi “mulutmu harimaumu” dan “lidah lebih tajam daripada pedang” karena, ya, ucapan (atau ketikan) yang sudah dilepasliarkan ke alam maya memang bisa membahayakan diri kita sendiri.

Risiko paling minim adalah “dirujak” oleh netizen. Namun, ada pula risiko-risiko lain yang jauh lebih mengerikan. Saya pun, mau tak mau, merenung dan bertanya-tanya, “Apakah kekhawatiran pengemudi ojek daring itu adalah pertanda bahwa alam demokrasi Indonesia sedang tidak baik-baik saja?”

Menurut survei Litbang Kompas, demokrasi Indonesia sepanjang 2022 lebih buruk ketimbang tahun sebelumnya. Hal itu dibenarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, yang menilai “demokrasi kita sekarang tidak sehat, tak sedang baik-baik saja.”

Media sosial memang punya dua sisi mata pisau. Di satu sisi, ia bisa membawa kebaikan kepada penggunanya. Misalnya, untuk berjualan produk yang mendatangkan cuan atau membikin konten-konten self branding.

Media sosial juga mampu menggerakan banyak orang, dalam hal ini adalah netizen, untuk memperhatikan masalah tertentu. Misalnya, ada kasus jalan rusak di Lampung. Netizen membicarakan itu, kemudian mendesak pemerintah daerahnya untuk mengambil sikap agar memperbaiki jalan tersebut. 

Walaupun beberapa pejabat publik tidak menerima kabar viral itu, daerahnya sudah jadi bahan berita di mana-mana dan tersorot oleh pemerintah pusat. Maka, mereka tak punya pilihan selain segera membereskan masalahnya.

Belum lagi kasus lain, seperti kasus pemukulan Mario Dandy terhadap David Ozora yang kemudian menggelinding ke banyak kasus, salah satunya soal gaya hidup berlebihan para pejabat di beberapa instansi. Di sini, media sosial pun berubah fungsi menjadi pengadilan jalanan untuk menuntut keadilan sosial.

BACA JUGA:

Namun, di sisi lain, apabila tidak dimanfaatkan dengan baik, media sosial pun bisa mendatangkan berbagai mudarat. Tak sedikit penggunanya mengalami kecemasan, bahkan sampai bunuh diri. 

Akan tetapi, kekhawatiran dari ojek daring tersebut, dugaan saya, adalah kekhawatiran bakal dipolisikan dengan basis UU ITE. Harus diakui, templat itu telah lama digunakan mereka yang berkuasa sebagai senjata untuk “menembak” orang yang berbeda pandangan. 

Apa yang terjadi kepada aktivis Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, yang menjalani sidang pencemaran nama baik atas laporan Luhut Binsar Panjaitan, adalah contoh termutakhir.

Haris dan Fatia membicarakan hasil riset investigasi yang menyebut Luhut punya andil dalam relasi ekonomi dan operasi militer di Intan Jaya di kanal YouTube Haris Azhar. Obrolan tersebut akhirnya jadi bahan pelaporan Luhut untuk mengkasuskan Haris dan Fatia.

Nah, kalau sosok Haris dan Fatia–yang punya basis keilmuan hukum dan telah banyak mengadvokasi kasus–saja mudah tersandung pelaporan tersebut, bagaimana dengan masyarakat biasa?

Sampai sekarang, saat menyelesaikan tulisan ini, kekhawatiran belum beranjak dari benak saya.

Penulis: Safar

Editor: Yoga

Ilustrator: Vito

BAGIKAN :

ARTIKEL LAINNYA

KOMENTAR

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments