FOMOMEDIA – Gaya hidup lambat semakin relevan ketika pandemi COVID-19 melanda banyak negara, khususnya Indonesia. Manusia dipaksa untuk tetap di rumah. Keperluan apa pun harus dikerjakan sendiri. Masuk ke era New Normal, apakah gaya hidup Slow Living masih relevan?
Kota terasa sesak. Di hari-hari kerja, kita melihat orang-orang berdesak-desakan di gerbong KRL, bus kota, dan kendaraan pribadi di jalan. Hari terasa begitu cepat, tak ada waktu sejenak untuk menarik napas.
Kondisi tersebut diperkuat lagi dengan adanya teknologi, seperti media sosial, yang membuat penggunanya lupa waktu. Belum selesai baca utas di Twitter, kita telah beralih ke video joget-joget di TikTok.
Selesai lihat beberapa video pendek di TikTok, kita mengecek status teman di Instagram. Tidak lama berada di Instagram, kita berkunjung ke YouTube. Belum lagi kehadiran aplikasi baru Threads. Ini juga punya pengaruh terhadap attention span seseorang.
Selain itu, aplikasi jasa antar makanan membuat seseorang tidak mesti memasak di dapur sendiri. Tinggal pencat-pencet smartphone, makanan datang sendiri.
Kondisi kota dan perangkat teknologi yang memudahkan penggunanya seakan menuntut kita bergerak lebih cepat. Peribahasa “Siapa cepat, dia dapat” rasanya belum pernah serelevan sekarang.
Namun, di tengah kehidupan yang serba buru-buru itu, orang-orang mulai mempertanyakan, apakah ada cara lain untuk hidup? Hidup dengan tempo lebih lambat sehingga segalanya bisa dinikmati. Bekerja pun bisa dilakukan dengan n tenang tanpa ada perasaan buru-buru.
Maka, muncullah gerakan slow living atau gaya hidup lambat. Slow living sedang diterapkan oleh banyak orang sebagai cara untuk menolak perilaku hidup orang kota yang serba cepat dan terburu-buru.
Ada yang menerapkannya dengan cara menjauh dari kota dan hidup di desa. Tapi, ada pula yang tetap tinggal di kota, dengan hanya mengubah gaya hidup.
Gerakan slow living tidak berarti bermalas-malasan atau tidak mau bekerja. Malahan, gerakan ini mengajak setiap orang untuk memikirkan prioritas kehidupan dan cara untuk mencapainya dengan mendapatkan hasil yang bermutu. Artinya, bekerja dengan lebih berkualitas.
Menurut psikolog Irma Gustiana Andriani, slow living merupakan sebuah konsep gaya hidup yang membuat hidup lebih lambat, tetapi tetap produktif.
Seperti dalam penyampaiannya di acara Kick Andy, Irma mengatakan, “Dalam slow living, kita menghargai waktu, memaknai apa yang kita jalani, bisa lebih tujuan hidup mau ngapain, menikmati proses. Sehingga, ketika kita hidup dengan slow living ini, ternyata banyak sekali orang-orang yang bisa mengurangi stresnya, kecemasannya menurun.”
Menjalani Slow Living di Mana Saja
Ukke Kosasih, founder Kabin Kebun, memutuskan untuk menjalani gaya hidup yang lambat. Ukke bersama suami dan anak tunggalnya berpindah dari kota ke desa.
Menurut Ukke, slow living yang mereka jalani berarti tahu persis apa yang mereka kerjakan dan mengambil kontrol terhadap itu. Kemudian, yang Ukke tekankan, menjalani gaya hidup lambat bukan berarti harus tinggal di desa, tetapi di kota pun bisa.
Pemikiran bahwa di desa seakan waktu melambat telah jamak di pikiran banyak orang kota. Sebenarnya, waktu tidak melambat di desa. Hanya suasana desa dan prioritas orang desa terhadap pekerjaannya yang membuat segalanya jadi tampak “lambat”.
Maka dari itu, menganut slow living bukan tentang tinggal di mana, tetapi bagaimana bersikap terhadap hidup sehari-hari. Bagi Ukke, slow living adalah pola pikir.
Sebenarnya, slow living adalah bagian dari gerakan lambat yang lebih luas yang dimulai sejak tahun 1980-an di Italia. Itu karena ulah fast food. Dalam menghadapi pembukaan McDonald’s di tengah Kota Roma, Carlo Petrini dan kelompok aktivis membentuk Slow Food, sebuah gerakan yang mempertahankan tradisi makanan tradisional.
Menurut situs slow living ldn., “Gerakan slow food kini memiliki pendukung di lebih dari 150 negara dan tetap melindungi tradisi gastronomi, mempromosikan upah yang adil bagi produsen, mendorong kenikmatan makanan berkualitas baik, dan terlibat dalam kegiatan keberlanjutan.”
Pada 2005, Carl Honore menerbitkan buku berjudul In Praise of Slowness: Challenging the Cult of Speed yang merekam orang-orang bergaya hidup lambat, baik di kantor, pabrik, lingkungan sekitar, rumah, dan di tempat lainnya. Buku ini akan mengajak kita untuk berpikir ulang mengenai hubungan kita dengan waktu.
Sejak buku itu terbit, kesadaran akan gerakan gaya hidup lambat meningkat. Bahkan, slow living bercabang-cabang ke berbagai lini kehidupan. Sekarang ada slow travel, slow fashion, slow fitness, slow parenting, slow journalism, dan berbagai macam slow living movement lainnya.
Gaya hidup lambat semakin relevan ketika pandemi COVID-19 melanda banyak negara, khususnya Indonesia. Manusia dipaksa untuk tetap di rumah. Keperluan apa pun harus dikerjakan sendiri. Akhirnya, orang-orang kembali memasak sendiri, yang membutuhkan proses cukup lama. Artinya, orang-orang kembali menikmati waktu yang normal.
Waktu itu, kita menyebut gaya hidup demikian sebagai new normal atau “kehidupan baru”. Padahal, sesungguhnya kita kembali ke kehidupan yang sebenarnya.
Sekali lagi slow living bukanlah gaya hidup bermalas-malasan atau menunda-nunda pekerjaan, melainkan sebuah mindset bahwa hidup harus produktif. Hidup tidak perlu cepat-cepat, tetapi fokus kepada segala sesuatu yang baik.
Memang apa saja manfaat dari gaya hidup lambat? Pertama, lebih banyak waktu. Mengerjakan hal yang prioritas dan menghentikan aktivitas yang tidak bermanfaat, seperti menggulirkan media sosial, membuat kita mendapatkan waktu lebih banyak dan bermanfaat.
Kedua, kita menjadi lebih sadar akan apa yang sedang kita jalani. Dari situ, kita, bisa lebih baik dalam mengelola stres sekaligus merayakan banyak momen. Ketiga, slow living akan menyadarkan untuk berbuat baik terhadap lingkungan dan akan sadar dampak negatif dari kehidupan modern.
Lalu, untuk menjalani gaya hidup lambat, apa saja yang mesti dilakukan? Sebenarnya, banyak. Namun, kamu bisa mulai dari empat hal ini. Pertama, latih kesabaran. Slow living terfokus kepada kegiatan yang tidak instan, di mana kita harus melewati banyak hal. Maka, untuk melakoni hidup lambat, kita mesti sabar melakukannya secara bertahap.
Kedua, atur jadwal selama sehari. Lakukan pekerjaan sesuai jadwal yang sudah diatur dalam sehari penuh. Jangan bersikap impulsif, sebab itu akan merusak jadwal yang telah disusun sebelumnya.
Ketiga, luangkan waktu untuk dirimu sendiri. Tahap ini begitu penting saat menerapkan gaya hidup lambat. Betul, bahwa interaksi dengan orang lain sangat penting, tapi meluangkan waktu untuk diri sendiri tak kalah penting.
Keempat, gunakan waktu untuk tidur lebih lama. Bagi “anak rebahan”, ini sangat menyenangkan. Akan tetapi, tidur ala slow living punya tujuan berbeda, yaitu untuk memberi tubuh dan otak lebih banyak kesempatan untuk memulihkan diri, bukan sekadar malas-malasan.
Keempat tahap itu hanya bagian kecil dari beberapa tahap yang mesti dijalani ketika slow living. Selebihnya, kamu bisa temukan lagi hal-hal yang membuatmu lebih bahagia.
Penulis: Safar
Editor: Yoga
Ilustrator: Vito