Kenapa Tinju Artis Makin Laris?

by | Dec 21, 2023

Hiburan | Olahraga | Sosial

FOMOMEDIA – Tinju artis makin semarak, melampaui tinju profesional yang tengah sepi peminat. Bagaimana bisa terjadi?

Ada masanya pertandingan tinju diminati masyarakat luas. Setidaknya pada periode 2000-an, siaran tinju rutin dapat slot di televisi. Sasana tinju menjamur di kota-kota hingga daerah: melatih petinju amatir, mencetak petinju profesional.

Namun, era berganti. Minat terhadap tinju menurun dari waktu ke waktu. Sebagai gambaran, Surabaya dan Malang pernah jadi barometer tinju tanah air karena punya banyak sasana dan mencetak banyak petinju profesional. Namun mulai 2012, kejayaan tinju memudar di dua kota itu. Tawaran pertandingan kian jarang. Begitu ada, bayaran kurang memuaskan. Sasana pun berguguran.

Tak bisa hidup andalkan ring tinju, para petinju profesional mengambil pekerjaan lain. Kerap kali, mereka memilih profesi yang dirasa bisa memanfaatkan keunggulan fisik. Opsi pun merentang dari satpam hingga penagih utang.

Mantan petinju Hengky Silatang menyebut kondisi semacam itu umum dialami petinju profesional. Alih-alih fokus berlatih, mereka terpaksa mengalihkan separuh harinya untuk bekerja, guna penuhi kebutuhan hidup dan biaya latihan.Padahal, beda dengan petinju amatir, petinju profesional mestinya sudah tak pusing mencari nafkah, apalagi sampai mencari pekerjaan lain di luar ring tinju. Semestinya, mereka disebut petinju profesional karena dibayar oleh promotor dan sponsor yang jorjoran mengucurkan dana untuk penyelenggaraan event tinju.

Atlet Tinju Kekurangan Pertandingan

Pertandingan sangat berarti bagi petinju, profesional maupun amatir. Karena selain menjadi sumber pendapatan, pertandingan meningkatkan jam terbang. Juara dunia Chris John bahkan mengaku dirinya adalah produk dari kompetisi tinju profesional yang semarak digelar pada awal 2000-an.

Sayangnya, kini jumlah pertandingan dan kompetisi semakin tak memadai untuk menghidupi petinju profesional maupun mematangkan petinju amatir. Promotor tinju makin jarang membuat event karena takut rugi.

Belakangan, promotor di Ibu Kota kembali membuat tinju jadi tontonan populer masyarakat Indonesia. Namun, pertandingan yang disaksikan hingga jutaan kali di YouTube bukan menampilkan atlet profesional yang lahir dari disiplin latihan di sasana tinju. Melainkan, para artis, influencer, dan orang-orang terkenal lain.

Para Artis Merebut Ring Tinju

Vicky Prasetyo vs Aldi Taher, 4,4 juta tontonan; Randy Pangalila vs Adhi Pawitra, 15 juta tontonan; Paris Pernandes (Salam Dari Binjai) vs Jekson Karmela (Kkajhe), 8,4 juta tontonan; dan terbaru, Jefri Nichol vs El Rumi, 12 juta tontonan.

Tentu, tak semua tinju artis mendapat jutaan penonton di YouTube. Namun tren yang dimulai oleh Vicky dan Aldi ini memberi jaminan pada promotor. Paling tidak, pertandingan tak akan “sepi”.

Sebetulnya, tinju artis bukan hal baru di negeri ini. Satu dekade silam, pada tahun-tahun menjelang tinju profesional menurun peminatnya, televisi sempat menyiarkan sejumlah artis beradu jotos di atas ring. Raffi Ahmad pernah melawan Mario Lawalata pada 2011. Al Ghozali juga pernah bertinju dengan Farhat Abbas pada 2013.

Pertanyaannya, jika tinju artis sebegitu menguntungkan, bahkan pernah diselenggarakan sedari lama, kenapa baru sekarang itu populer?

Kronologi Tinju Artis: Dari Tak Menarik sampai Jadi Tren

Tinju artis sebenarnya lumrah terjadi di luar negeri. Upaya awal promotor tinju memanfaatkan popularitas selebritas bisa kita lacak ke tahun 1979, manakala juara dunia Muhammad Ali bertarung melawan bintang NFL Lyle Alzado. 

Pertandingan itu dipromosikan secara masif, dengan harapan mendatangkan 60.000 penonton. Sayang, event itu boncos. Total penonton hanya mencapai 20.000, itu pun hanya 11.128 orang yang membayar tiket.

Ring tinju di televisi baru resmi mempertemukan sesama selebritas pada 1994. Komedian Danny Bonaduce berkelahi lawan mantan idola remaja Donny Osmond di pertandingan amal. Setelah itu, sejumlah figur dunia hiburan turut mencicipi kerasnya ring tinju dengan latihan dan persiapan terbatas.

Kendati ada penontonnya, tinju artis tak melampaui kepopuleran tinju profesional sebagai tontonan massa. Program Celebrity Boxing di stasiun teve Fox pada 2002, bahkan menduduki peringkat 6 dalam daftar “50 Tayangan Teve Terburuk Sepanjang Masa” versi TV Guide. Pun demikian, tinju artis terus berulang diselenggarakan, meski jarang-jarang.

Tahun 2018 menjadi titik balik tinju artis. YouTuber asal Inggris, KSI, beradu tinju dengan YouTuber asal Amerika, Logan Paul. Siaran langsungnya yang berbayar ditonton oleh 1 juta lebih orang, dan rekamannya kini telah disaksikan lebih dari 20 juta penonton. Menghasilkan jutaan dolar, event itu menjadi pertandingan tinju nonprofesional terbesar sepanjang masa pada saat itu.

Gelombang tren pun tercipta. Terbukti, daftar pertandingan tinju artis di Wikipedia dalam lima tahun terakhir lebih panjang dari daftar sepanjang 1979-2017. Bahkan, Elon Musk dan Mark Zuckerberg pun sempat mewacanakan niat baku pukul di atas ring.

Tapi, apa sebetulnya yang membuat tinju artis kini populer? Kenapa popularitas artis, yang sebelumnya tak berhasil melampaui profesionalitas atlet tinju, kini begitu mempan menarik perhatian publik?

Menarik karena Drama Luar Panggung

Saking luar biasanya euforia penonton, pertarungan KSI kontra Logan Paul dinobatkan oleh warganet sebagai “Peristiwa Internet Terbesar dalam Sejarah”.

Besarnya atensi terhadap pertandingan itu, tak hanya karena keduanya sosok terkenal, tapi juga akibat gimik-gimik yang terbentuk dari perseteruan berbulan-bulan dari kedua tokoh.

Sebelum pertarungan itu, KSI sempat bertinju melawan YouTuber lain, Joe Weller, untuk selesaikan drama berbulan-berbulan. Menang, KSI lanjut menantang Logan Paul yang saat itu sangat kontroversial karena membuat vlog di “hutan bunuh diri” Jepang, Aokigahara. Banyak orang ingin melihat Logan Paul dipukuli karena permintaan maafnya usai peristiwa itu dianggap buruk sekali.

Konflik di luar ring tinju itulah yang membangun daya tarik penonton pada pertandingan tersebut. Dan sebetulnya, itulah strategi promosi paling mujarab untuk mendatangkan penonton pertandingan.

Tak hanya untuk tinju artis, event-event tinju profesional paling laris pun ramai karena gimik konflik di luar ring. Adu jotos Muhammad Ali dan Joe Frazier (pada 1971, 1974, dan 1975) yang dijuluki “Pertarungan Abad Ini”, juga dihiasi dengan drama. 

Keduanya beberapa kali hendak saling pukul kala tampil bersama dalam acara, seperti di konferensi pers. Padahal, di kesempatan lain, mereka menunjukkan keakraban layaknya sahabat. Pihak promotor maupun petinju sadar bahwa konflik rivalitas di luar panggung turut membanguh intensitas pertandingan.Gulat profesional, yang lebih merupakan sandiwara, lebih masif memainkan konflik di luar ring. Industri itu sadar betul pentingnya aspek drama untuk mendatangkan penonton.

Artis + Media Sosial = Drama

“Udah pukul aja” merupakan balasan yang kerap muncul dari warganet saat melihat perdebatan di media sosial sudah memanas. Gelut Aldi Taher dan Vicky Prasetyo pada 2022 di Holywings mendemonstrasikan pada figur-figur publik di Indonesia bahwa ring tinju memungkinkan ungkapan itu terealisasikan dengan cara yang bisa “diterima” sekaligus menghasilkan “cuan”.

Saat keinginan melihat orang babak belur jadi alasan utama publik melirik ring tinju, media sosial dan artis menjadi kombinasi yang disenangi promotor.

Dari pertandingan Paris Pernandes (TikToker Salam Dari Binjai) vs Jekson Karmela (atlet muay thai), sampai pertandingan Nicholas Sean (putra Ahok) vs Sabian Tama (putra Wishnutama), semua dimulai dari perseteruan di media sosial. Mengikuti konflik antarfigur publik, banyak warganet ingin menyaksikan puncaknya dalam bentuk adu jotos.

Jefri Nichol merupakan salah satu artis yang paling getol menjadikan ring tinju sebagai penyelesaian konflik. Sebelum melawan sesama artis, El Rumi, ia beberapa kali menantang warganet di Twitter, dari haters sampai orang yang membajak filmnya, Jakarta vs Everybody (2020). Kebiasaan itu memunculkan istilah “Jefri Nichol vs Everybody” di kalangan warganet.

Jefri, yang memang terlatih, mudah saja menghajar lawan-lawannya yang kurang terlatih. Namun, kendati tak intens ataupun lucu, pertandingan Jefri selalu mendapat atensi, bahkan lebih besar daripada yang didapat banyak petinju profesional.

Masa Depan di Tangan Siapa?

Armin Tan, seorang promotor yang menyelenggarakan tinju artis di Holywings, mulanya mengamati banyak artis yang berseteru di media sosial.

“Dari situ lalu kita mulai menyelenggarakan pertandingan yang melibatkan selebriti dalam setiap penyelenggaraan pertandingan tinju yang kita gelar, demi meningkatkan animo masyarakat kembali mengenal dunia tinju,” ungkapnya, dikutip BeritaSatu.

Artis seakan dijadikan penyokong untuk industri tinju. Sebagaimana tinju artis sempat muncul saat dunia tinju Indonesia menjelang redup satu dekade silam, tinju artis kini muncul untuk menerangi cabor yang sedang diharapkan bangkit. Jika dulu tinju artis gagal mempertahankan minat publik pada tinju, kini ia berhasil meningkatkan animo di sekeliling ring tinju.

Namun jika kita amati, fenomena ini bukan hanya terjadi pada tinju. Cabang olahraga lain yang belakangan naik pamornya, juga dipopulerkan oleh artis. Vincent Rompies dan Deddy Mahendra Desta, misalnya, mempopulerkan tenis lewat gelaran “Tiba-Tiba Tenis”.

Kolaborasi Semua Pihak

Lewat Vindes Sport, mereka menggaet artis-artis lain untuk membikin tayangan olahraga. Permainan yang ditampilkan tentu tak seintensif pertandingan atlet profesional. Namun nama-nama seperti Raffi Ahmad, Wulan Guritno, Gading Martin, Dian Wiyoko, hingga Enzy Storia membuat publik luas melirik cabor yang dimainkan.

Pun bukan hanya tenis, Vindes Sport turut mengadakan pertandingan cabor lain, seperti tenis meja, badminton, bahkan voli. Keterlibatan artis bisa meningkatkan atensi publik terhadap berbagai cabang olahraga.

Bagaimanapun, alih-alih artis atau promotor, nasib dunia olahraga yang sesungguhnya—termasuk tinju—berada di tangan federasi. Merekalah yang semestinya punya tanggung jawab melakukan pembinaan dan menggelar kompetisi.

Promotor, pada akhirnya, hanya akan melirik atlet tinju “sungguhan” ketika mereka telah ditempa kompetisi tingkat tinggi. Dalam sejarah, bukan sekali dua kali petinju profesional menjadi bintang di negeri ini, dari Thomas Americo sampai Chris John, dari Pino Bahari hingga Daud Yordan. 

Artinya, potensi untuk membuat tinju jadi olahraga yang menarik secara organik itu nyata. Tinju artis memang menyenangkan untuk disaksikan, tetapi ini bukanlah atraksi yang berkelanjutan bagi masa depan cabang olahraga. Fenomena ini semestinya cuma jadi stimulus, bukan satu-satunya opsi tontonan yang tersedia.Pertanyaannya sekarang, akankah federasi-federasi tinju di Indonesia—yang jumlahnya mencapai tujuh (termasuk tinju amatir) itu—berbuat sesuatu setelah melihat bagaimana populernya tinju artis?

Penulis: Ageng

Editor: Yoga

Ilustrator: Salsa

BAGIKAN :

ARTIKEL LAINNYA

KOMENTAR

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

[…] masih tak percaya bahwa Indonesia bisa menjebloskan si kulit bundar ke gawang lawan. Harapan Garuda Muda bisa melaju hingga babak final Piala Asia U-23 2024 pun seketika […]