FOMOMEDIA – Fenomena bunuh diri tak bisa dibaca sebagai masalah tunggal, melainkan masalah yang berkaitan dengan banyak persoalan lain.
Apakah kamu masih ingat peristiwa bunuh diri Pahinggar Indrawan pada 17 Maret 2017?
Pahinggar nekat menayangkan aktivitas bunuh diri secara langsung di media sosial Facebook. Tempat peristiwanya berada di sebuah rumah di wilayah Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Lelaki yang berusia 35 tahun itu melingkari lehernya dengan seutas tali biru untuk gantung diri. Sebelum melakukannya, dia menyampaikan beberapa pesan untuk istrinya yang dinilai menjadi penyebab ia mengambil tindakan nekat tersebut.
Pahinggar berpesan kepada istrinya seperti ini: “Gue cinta mati sama dia, ya nggak tau kenapa emang pun jodohnya juga kali sekarang. Jadi sekarang dia pergi nggak tau ke mana ninggalin gue sama anak-anak. Susah juga sih jelasinnya gue. Gue sekarang pun nggak tau mau apa, gue juga bimbang … Sebenernya gue gak berani. Kita lihat aja. Mungkin gue akan siarin langsung. Kalau gak ya hanya video kenang-kenangan untuk istri gue aja.”
Tak sampai 24 jam, video Pahinggar tersebut dihapus oleh pihak Facebook—sayangnya, bila dicari di platform lain, cuplikan videonya masih ada. Bila dibiarkan, jejak peristiwa Pahinggar tersebut bisa membuka kembali luka trauma bagi anak-anak dan istrinya di kemudian hari.
Pada 2019, mahasiswa pascasarjana Institut Teknologi Bandung (ITB) ditemukan gantung diri di kamar kosnya. Ia ditemukan tidak bernyawa dengan posisi tergantung oleh rekannya sesama mahasiswa STEI ITB.
“Almarhum MA adalah mahasiswa S2 Elektro STEI ITB angkatan 2018. Menurut dugaan, yang bersangkutan menderita depresi,” ujar Miming Miharja, Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Alumni, dan Komunikasi ITB, dikutip dari CNN Indonesia.
Dua kasus di atas tampaknya dapat memunculkan beribu tanya tentang kenapa laki-laki yang dinilai kuat dan tegar, namun memilih bunuh diri sebagai penyelesaian masalahnya?
Namun, faktanya demikian. Data dari beberapa negara, persentase aktivitas bunuh diri yang dilakukan oleh laki-laki cenderung lebih besar ketimbang perempuan.
Misalnya di Australia, laki-laki tiga kali lebih rentan meninggal akibat bunuh diri ketimbang perempuan. Di Amerika Serikat, diperkirakan laki-laki 3,5 kali lebih mungkin bunuh diri daripada perempuan. Sedangkan di Rusia dan Argentina, kemungkinan laki-laki bunuh diri bisa mencapai lebih dari empat kali ketimbang perempuan.
Menurut data WHO, pada 2016, hampir 40% negara memiliki lebih dari 15 kematian akibat bunuh diri per 100 ribu laki-laki. Dengan jumlah itu, “hanya” sekitar 1,5% yang terjadi pada perempuan.
Di Indonesia pada tahun yang sama, jumlah kematian bunuh diri tercatat ada di angka 2,4 per 100 ribu penduduk. Untuk jenis kelamin laki-laki pada 2016, per 100 ribu penduduk, ada 3,7 kasus. Sedangkan bagi perempuan, angkanya sekitar 1,1 orang per 100 ribu penduduk. Sejak 2016 sampai 2019, angka tersebut tidak berubah.
Alasan Laki-Laki Bunuh Diri
Laki-laki didorong untuk tampil “kuat” dan cenderung enggan menunjukkan masalah atau kesulitan yang tengah dialami. Pandangan itu tertanam sejak kecil bahwa laki-laki “tidak boleh cengeng seperti perempuan”.
“Kita mengondisikan anak laki-laki sejak usia sangat muda untuk tidak mengekspresikan emosi, karena mengekspresikan emosi berarti menjadi ‘lemah’,” kata Colman O’Driscoll, mantan direktur eksekutif operasi dan pengembangan di Lifeline—sebuah badan amal Australia yang menyediakan dukungan krisis 24 jam dan layanan pencegahan bunuh diri—sebagaimana dikutip dari BBC.
Dalam sebuah jurnal ilmiah yang ditulis oleh Indriyati Eka Purwaningsih, Ryan Sugiarto, dan Sulistyo Budiarto, disebutkan bahwa “fenomena mengapa laki-laki lebih banyak melakukan bunuh diri diduga ada keterkaitannya dengan peran jenisnya. Dalam masyarakat patrilineal, laki-laki dan perempuan memiliki peran yang berbeda. Sebagai laki-laki tugas dan tanggung jawabnya lebih berat dibandingkan perempuan, sehingga laki-laki harus berjuang lebih keras dibanding perempuan.”
Baik di lingkungan keluarga, pertemanan, dan rekan kerja, semuanya mendukung hal tersebut. Tindakan yang maskulin itu seakan menyelesaikan masalah yang menimpa laki-laki, padahal sebenarnya itu sekadar menutupi masalah saja.
Sedangkan, menurut Direktur Eksekutif Pusat Pencegahan Bunuh Diri di Kanada, Mara Grunau, hal ini tidak lepas juga dari cara orang tua berkomunikasi dengan anak tentang diri mereka sendiri.
“Para ibu berbicara lebih banyak kepada anak perempuan mereka daripada anak laki-laki … dan mereka lebih sering berbagi dan mengungkapkan perasaan,” kata Grunau. “Kita hampir selalu mengandalkan perempuan untuk menjadi emosional.”
Dan sebuah penelitian menyebutkan, laki-laki lebih jarang berkonsultasi perihal kesehatan mental ketimbang perempuan. Padahal, kesehatan mental laki-laki sendiri tidak selalu lebih baik daripada perempuan.
Sehingga, untuk menyelesaikan masalah mental itu para laki-laki cenderung akan lari ke hal-hal destruktif seperti rokok, alkohol hingga narkoba. Bila barang itu tidak mampu menyelesaikan masalah mereka, maka pemikiran untuk mengakhiri hidup pun bisa terbesit.
Selain karena masalah internal, bunuh diri terjadi karena faktor eksternal yang perlu campur tangan negara, yakni kemiskinan atau kesulitan ekonomi. Misalnya, di Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta. Pada 2020, kasus bunuh diri di Gunungkidul mencapai 26 orang dan tahun 2021 bertambah menjadi 28 orang.
Ida Rochmawati—psikiater yang bertugas di RSUD Wonosari—menyebutkan, bunuh diri terjadi karena beberapa faktor, mulai dari psikologis, sosial dan budaya, serta faktor risiko lainnya.
“Kasus bunuh diri paling banyak disebabkan karena depresi sebanyak 43%. Adapun faktor lain yang menjadi pencetus, di antaranya adalah sakit fisik menahun 26%, tidak ada keterangan 16%, gangguan jiwa berat 6%, masalah keluarga 4% dan masalah ekonomi sebanyak 5%,” seperti dilansir oleh Harian Jogja.
Akan tetapi, data tersebut bisa dibalik, bisa jadi karena ekonomi sehingga orang-orang depresi, masyarakat tidak bisa berobat karena tidak punya uang, mental terganggu karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup, dan masalah keluarga muncul karena pasangan suami istri tak mampu membeli susu untuk anak mereka.
Dikutip dari Tempo.co, guru besar di Bidang Psikiatri Universitas Sebelas Maret (UNS), Syamsul Hadi, menyebutkan kemiskinan menjadi penyebab utama tingginya angka bunuh diri di Gunungkidul. Menurutnya, “Cara paling efektif untuk menekan (angka bunuh diri) adalah memperbaiki kesejahteraan ekonomi masyarakat.”
Maka dari itu, fenomena bunuh diri—baik terjadi pada laki-laki maupun perempuan—tidak dibaca masalah tunggal semata, tetapi lebih dari itu, yakni karena faktor sosial, ekonomi, dan budaya. Dan di atas itu semua, negara perlu campur tangan untuk mencegah supaya warganya tak perlu mengambil jalan pintas dengan mengakhiri hidup.
Penulis: Safar
Editor: Yoga
Ilustrator: Vito
[…] yang ditutupi namanya tersebut bahkan menulis ketertarikannya pada “laki-laki yang bertanggung jawab,” yang secara tak langsung merujuk ke tanggung jawab terhadap negara […]
[…] sekolah dasar yang berusia 23 tahun. Guru tersebut ditemukan tewas di sekolahnya di Seoul karena bunuh diri pada 18 Juli […]