FOMOMEDIA – Punya segala kemudahan ternyata gak bikin bahagia, lo. Buktinya, banyak banget gen z yang justru pengin ngerasain era 90s yang serbaanalog.
“Masa lalu selalu aktual,” begitu kata pendiri Kompas Gramedia, Pollycarpus Swantoro.
Memang, masa lalu punya caranya sendiri untuk kembali ke masa kini. Beberapa tahun terakhir, masa lalu itu muncul lagi lewat generasi z (gen z).
Generasi kelahiran 1997-2012 ini spesial karena lahir dan tumbuh pada era internet dan digital. Mereka tidak merasakan dan menikmati langsung zaman serbaanalog, di mana seseorang mesti pergi ke toko secara langsung untuk membeli pakaian, atau memutar kaset pita untuk mendengarkan musik.
Situasi itu tentu sangat berbeda dengan zaman sekarang. Internet memudahkan segalanya. Mulai dari mendengarkan musik, membeli barang, bahkan mencari pacar bisa dilakukan lewat smartphone.
Sebenarnya, milenial pun bisa pula disebut sebagai generasi digital. Akan tetapi, mereka bukan digital native seperti generasi z yang sedari brojol sudah dikelilingi berbagai kemudahan ala dunia digital. Sebab, milenial pernah merasakan pula dunia serbaanalog, di mana bilik telepon umum masih bisa ditemukan di berbagai penjuru kota.
Milenial hidup di antara analog dan digital. Jika mereka kembali ke analog, tujuan mereka adalah nostalgia atau mengenang masa lalu. Ini yang jadi salah satu perbedaan milenial dan gen z.
Bukan Nostalgia, tapi…
Sementara itu, bagi gen z, kesukaan mereka pada hal-hal berbau analog adalah murni dari rasa penasaran. Mereka tak pernah merasakan era penuh kerempongan itu dan akhirnya ingin mencoba. Tentu, ini sangat manusiawi karena apa, sih, yang lebih manusiawi dari memilih yang susah padahal ada yang gampang?
Salah satu “artefak” era analog yang kini jadi incaran gen z adalah kaset pita. Fenomena ini sendiri pernah secara khusus diangkat oleh DetikX. Dalam laporan itu digambarkan dengan apik rasa senang dan kekaguman gen z melihat kaset yang dipajang berjejer di toko.
“Ada kesenangan dan kekaguman dari wajah para gen z saat menikmati musik dari pita kaset. Seolah mereka keluar dari hiruk-pikuk dunia digital dan berpetualang bebas ke masa lampau,” tulis jurnalis DetikX, Rachman Haryanto, dalam laporannya itu.
Antara keluar dari hiruk-pikuk digital dan rasa penasaran melebur pada petualangan mereka. “Dunia memang tidak bisa dihentikan, tapi kita bisa hentikan,” kira-kira begitu semangat gen z dalam berusaha menikmati barang-barang analog.
Pencarian kaset pita dan compact disc (CD) itu bisa terjadi karena mereka sudah terpapar musik era 90-an dan 2000-an dari platform musik digital. Lagunya sudah didengar, tapi wujud kaset dan CD belum dilihat, maka perburuan analog pun dilakukan. Ini namanya “mengalami analog”.
Berburu Tiket Konser Era 90-an
Tidak hanya muncul di toko-toko musik analog dan menikmatinya dengan tape recorder di kamar, gen z juga memburu tiket konser grup musik yang populer pada era 90-an dan awal 2000-an.
Contohnya, konser-konser Dewa 19 yang pascapandemi mulai tur di beberapa daerah. Setiap tur mereka mayoritas didatangi anak muda dan di antara anak muda itu ada generasi z.
Dalam video “Kenapa Anak Muda Suka Dewa 19?” yang diunggah kanal YouTube Info Ciledug, misalnya, ada seorang perempuan ditanya mengapa menyukai lagu-lagu Dewa 19? Jawabannya karena tahu dari ayahnya. Ayahnya sering memutar lagu Dewa 19, dan dia merasa lagunya enak, akhirnya suka.
Banyak cara sehingga gen z terpapar dengan lagu-lagu era 90s dan 2000-an. Salah banyaknya adalah dari lagu-lagu di kafe, YouTube, dan lagu pendek di TikTok. Biasanya, platform TikTok yang mengangkat lagu lawas, kemudian para gen z mencari versi panjangnya.
Ahmad Dhani punya pandangan sendiri perihal tren ini. Ketika pentolan Dewa 19 ini hadir di acara Tonight Show, Vincent bertanya kepada Dhani, kenapa banyak anak muda menyukai Dewa 19?
Menurut Dhani, “Terutama Dewa. Anak-anak muda itu kayaknya butuh lirik-lirik yang bagus dan dalam. Sementara lagu gua kebetulan lirik-liriknya dalam-dalam dan bagus-bagus.”
Yang Old yang Keren
Tidak saja di skena musik, fesyen 90s pun digemari oleh gen z. Masih ingat dengan Citayam Fashion Week (CFW) pada 2022?
CFW sempat ramai dibicarakan oleh warganet di media sosial karena pakaian yang mereka pakai unik dan kreatif. Salah satu yang menjadi sorotan adalah bagaimana para remaja tanggung itu memilih gaya berpakaian era 90-an seperti celana baggy yang sempat populer di kalangan skaters lawas.
Tidak bisa dipungkiri, media sosial dan film punya banyak pengaruh terhadap gaya hidup anak muda. Misalnya, film Dilan yang dibintangi Iqbaal Ramadhan.
Bahkan, Iqbaal sendiri di akun Instagram @iqbaal.e banyak membagikan pakaian bergaya 90-an. Iqbaal kerap mengunggah dirinya sedang memakai celana jins.
Bisa jadi karena pasar era 90-an sedang disukai oleh anak muda sehingga kanal VINDES membuat program “IQBAAL” yang secara khusus mengangkat tema tema 90-an, dari topik musik, fesyen, film, dan otomotif. “Semua yang berjaya di 90-an tanpa ada batasan,” begitu takarir dalam akun Instagram @vindes.ig.
Kompas.id menyebut minat gen z terhadap celana model 90-an itu terdeteksi oleh kalangan mode sejak medio 2019. Namun, terjadi peningkatan signifikan sejak pandemi COVID-19 pada Maret 2020.
Caroline Maguire, Direktur Mode untuk gerai daring busana Shopbop, mengatakan, “Selama pandemi, pembelian paling tinggi ialah celana denim longgar atau mom jeans dan gaun rumah. Gaun rumah ini bukan daster, melainkan baju terusan yang nyaman dan trendi dipakai, tetapi tidak tampak slebor.”
Back to 90s Berdampak pada Ekonomi
Fenomena back to 90s ini juga terjadi di beberapa negara—atau bisa jadi berasal dari sana. Misalnya, di Amerika Serikat. Gen z di sana kembali ke era 90-an karena pandemi yang tidak pasti, penuh kecemasan, dan bayang-bayang kesepian berpengaruh terhadap gaya hidup seseorang.
Menurut Profesor dan Psikolog Le Moyne College, New York, Krystine Batcho, kembalinya tren tahun 90-an dan awal 2000-an adalah respons umum ketika perekonomian sedang bermasalah dan mengganggu gaya hidup manusia.
Kata Batcho, seperti dikutip dari Insider, bahwa “Bagi banyak orang, terutama anak muda atau mereka yang tidak memiliki keamanan finansial, kondisi ekonomi yang buruk menimbulkan kekhawatiran untuk memenuhi kewajiban finansial. Nostalgia menjadi tempat perlindungan ketika orang beralih ke perasaan nyaman, aman, dan cinta yang mereka nikmati di masa lalu.”
Selain itu, film juga berpengaruh terhadap keputusan gen z untuk berpakaian gaya 90s. Misalnya, serial televisi Friends yang tayang perdana pada tahun 1994 dan episode terakhirnya mengudara pada 2004. Serial tersebut memiliki suasana tahun 90-an dan awal 2000-an, yang mana tahun-tahun itu generasi z masih dalam kandungan atau masih seumur piyik.
Faktor Pandemi
Pandemi membuat Friends kembali populer. Menurut lembaga rating Nielsen, serial yang dibintangi Courteney Cox, Jennifer Aniston, Lisa Kudrow, Matt Le Blanc, Matthew Perry, dan David Schwimmer itu merupakan tayangan terpopuler semasa pandemi. Bahkan, HBO sampai membuatkan acara khusus di mana para pemeran Friends bereuni dalam satu pentas pada 2021.
Dari sana, rasa penasaran itu kemudian berevolusi menjadi sebuah keinginan untuk membangkitkan kembali apa yang (dipikir banyak orang) telah mati. Dengan semangat membara, gen z melahirkan kembali tren-tren 90-an yang, kalau dipikir-pikir lagi, sebetulnya cukup keren-keren.
Satu hal lain yang membuat 90-an hidup kembali adalah bagaimana para pesohor idola gen z macam Olivia Rodrigo dan Bella Hadid kerap mengenakan pakaian-pakaian bernapaskan era tersebut. Rodrigo bahkan disebut-sebut sebagai reinkarnasi Avril Lavigne yang menggebrak skena musik pada awal 2000-an.
Dengan semua faktor yang mengiringinya itu, jadi tak mengherankan apabila tren 90-an kembali hidup dan berkembang biak di kalangan gen z. Sejarah memang selalu berulang dan itulah yang kini sedang terjadi.
Penulis: Safar
Editor: Yoga
Ilustrator: Salsa
[…] arti skena ini memunculkan beberapa definisi, salah satunya bahwa skena berasal akronim dari “Sua, cengKErama, […]
[…] Gen Z Back to 90s: Ketika Masa Lalu Bikin Penasaran […]