Di Tengah Pembajakan, Mampukah Penulis Hidup dari Royalti?

by | Aug 31, 2023

Buku | Literasi | Musik | Pembajakan | Royalti

FOMOMEDIA – Apabila konsumen membeli mengakses hasil bajakan, sepeser pun uang royalti tidak masuk ke kantong penulis buku maupun penulis lagu.

Seandainya sejak awal saya tahu bahwa menjadi penulis buku di Indonesia tidak punya dampak ekonomi, mungkin saya tetap menyelesaikan studi kesehatan saya dan bertugas di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Dan, saya hanya menjadi pembaca, lalu menguburkan keinginan menjadi penulis. 

Namun, setelah mengetahui realitas kehidupan penulis buku di Indonesia, saya tetap ngeyel. Pikir saya, “Gak apa-apa, saya siap hidup miskin demi bisa menjadi seorang penulis.” Padahal, menjadi penulis atau tidak, kehidupan saya akan begini-begini saja. 

Ke-ngeyel-an saya itu muncul saat saya masih membara belajar menulis. (Yah, namanya juga anak muda). Saya berusaha tidak peduli omongan orang bahwa jalan kepenulisan sebenarnya tidak punya efek finansial yang baik. 

Perkataan mereka betul. Pada akhirnya, saya mengenal banyak penulis buku yang harus kerja serabutan, asal bisa bertahan hidup untuk hari ini, mujur-mujur sampai besok. 

American Horror Story News GIF by AHS - Find & Share on GIPHY
Ilustrasi penulis. (Giphy)

Keinginan menjadi penulis buku tebersit karena saat itu saya membayangkan menjadi penulis, kok, kayaknya enak, ya. Menulis novel di desa yang jauh dari hiruk pikuk kota, kemudian diterbitkan, lalu menunggu royalti. Dan tidak sedikit calon penulis membayangkan hal yang sama. Tapi,  kenyataan tidak seindah itu. 

Ketimpangan Nasib Penulis

Akan tetapi, bukan berarti semua penulis buku berkubang dalam penderitaan. Penulis seperti Tere Liye, Dee Lestari, atau  Marchella FP yang bukunya Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI) terjual 3.200 eksemplar selama 30 menit tentu tidak merasakan kesengsaraan seperti itu. 

Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini yang terbit pada 2018 itu dibanderol 150 ribu rupiah per buku. Biasanya, royalti dari penerbit ditetapkan sebesar 10% per buku. Dalam sebulan, buku tersebut terjual hingga 30 ribu eksemplar. Artinya, dalam sebulan itu saja, Marchella FP sudah mendapat royalti Rp450 juta. Tentu saja, jumlah itu terus bertambah seiring semakin banyaknya buku yang terjual.

Selain Marchella FP, penulis yang lumayan mendulang uang dari royalti adalah M. Aan Mansyur. Dua bukunya, Melihat Api Bekerja (2015) dan Tidak Ada New York Hari Ini (2016), laku keras di pasar sastra Indonesia hingga puluhan ribu eksemplar. Apalagi, film Ada Apa Dengan Cinta 2 juga ikut mendongkrak penjualan Tidak Ada New York Hari Ini sebab sejumlah puisi dalam buku itu disebut oleh Rangga.

Sayangnya, nasib baik yang dialami oleh Marchella dan Aan tidak dirasakan oleh kebanyakan penulis Indonesia lainnya. Penulis seperti Marchella FP, Tere Liye, M Aan Mansyur, Dee Lestari, dan Leila S. Chudori adalah anomali di tengah industri perbukuan Indonesia. 

Dee Lestari, salah satu penulis “beruntung” di Indonesia. (Foto: Gramedia)

Maka dari itu, untuk menjadi penulis buku di Indonesia harus siap-siap menempuh jalan ronin. Artinya, siap hidup miskin. 

Berkaca dari Blantika Musik

Kesuraman dari dunia buku tidak sama dengan dunia musik. Royalti musik masih lebih baik ketimbang royalti buku, walaupun tetap masih ada permasalahan. Ini tidak bermaksud mengomparasikan antara industri buku dan industri musik, soalnya jauh sekali. 

Di musik, royalti dikelola oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Nasional, yang berfungsi sebagai badan pengelola hak ekonomi dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. Ini diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2014.

Para penerima royalti tidak hanya dari pencipta lagu, tetapi juga ada pelaku pertunjukan, dan produser rekaman. Dan, LMK ini tidak sendirian dalam mendistribusikan royalti kepada pelaku musik Tanah Air. 

Ada beberapa lembaga lainnya. Misalnya, ada LKM Karya Cipta Indonesia (KCI), LMK Wahana Musik Indonesia (WAMI), LMK SELMI Performers, dan lain-lain. Royalti itu diambil dari berbagai ceruk, seperti konser, karaoke, kafe, dan platform digital. 

Pada Maret 2022, Ahmad Dhani sempat menyatakan keluar dari WAMI—walau pada akhirnya masuk lagi. Alasan Dhani adalah WAMI tidak transparan dalam mendistribusikan royalti. 

Ahmad Dhani. (Foto: Era.id)

“Misalnya saya ditransfer 200 juta rupiah, saya enggak tahu dari mana aja itu. Saya enggak tahu dan enggak bisa ditanyain juga,” kata Dhani, seperti dikutip dari Kompas.com. Tidak hanya WAMI yang dianggap bermasalah, tetapi juga LKM lain seperti KCI yang sempat dilaporkan dianggap tidak transparan dalam memberi royalti pada pemilik lagu. 

Skema penyaluran royalti lewat Lembaga Manajemen Kolektif ini tidak hanya berlaku di industri musik. Lewat UU Nomor 28 Tahun 2014, distribusi royalti penulis buku pun bisa lewat LMK. Selama ini diketahui, penulis menerima royalti langsung dari penerbit. 

“Sama seperti musik, pemanfaatan atas karya tulis seperti buku dalam penggandaan, penyebaran karya, pengaturan terhadap siapa saja yang dikenakan royalti, serta metode apa saja yang digunakan untuk penarikan royalti akan diatur dalam Permenkumham ini,” kata Anggoro Dasananto, Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI Kemenkumham.

Industri Pembajakan Mematikan Hajat Hidup Pencipta

Tantangan berkarya di Indonesia lumayan berat. Selain berjibaku dengan produk laku atau tidak di pasar, pencipta (baik lagu maupun buku) harus berhadapan dengan pembajakan. Niat baik Undang-Undang itu tidak akan berdampak sejahtera kepada penulis apabila karya mereka masih terus dibajak. 

Seperti cerita saya di awal, hanya satu dan dua orang yang bisa menggantungkan hidupnya dari royalti. Apabila buku dari penulis paria ini dibajak pula, maka penderitaan mereka menumpuk-numpuk. Dan, LMK tidak akan bisa mengumpulkan royalti lalu didistribusikan kepada penulis, sebab sumber uangnya sudah disabotase oleh pembajak.

Cat Costume GIF - Find & Share on GIPHY
Ilustrasi pembajak.

Di lokapasar seperti Tokopedia, buku-buku bajakan dengan mudah diakses. Bahkan, di Shopee, buku dijual dengan sangat murah, hanya 5 ribu rupiah dalam format PDF. 

Pembajakan juga marak dunia musik. Salah satunya saya yang tumbuh dengan CD/DVD bajakan pada awal 2000-an. Lagu-lagu dari grup musik seperti Dewa 19, Peterpan, Ungu, Kangen, dan sebagainya, kami dengar dari toko-toko CD/DVD bajakan. 

Pada zaman sekarang, pembajak semakin mudah memperbanyak CD/DVD bajakan. Walaupun begitu, platform digital telah mengubah cara masyarakat mendengar musik. Anak muda sekarang telah banyak mendengar musik lewat YouTube, Spotify, dan platform musik lainnya. 

Pembajak pun beralih dari analog ke digital. Tak sedikit kanal-kanal YouTube, misalnya, yang mengunggah ulang video lagu. Biasanya, mereka membuat playlist. Dan, yang lebih miris, kadangkala unggahan dari pembajak itu lebih banyak ditonton ketimbang dari unggahan label maupun penyanyi. 

Apabila konsumen membeli mengakses hasil bajakan tersebut, maka sepeser pun uang royalti tidak masuk ke kantong penulis buku maupun penulis lagu. Maka dari itu, untuk memajukan industri kreatif ini—di saat negara tidak berbuat apa-apa—membeli karya asli adalah sebuah keharusan. 

Penulis: Safar

Editor: Yoga

Ilustrator: Vito

BAGIKAN :

ARTIKEL LAINNYA

KOMENTAR

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

[…] Selain Berryl, ada Rahman A. (bukan nama sebenarnya). Ia mengajar di sebuah perguruan tinggi Yogyakarta. Mulanya, ia memutuskan jadi pengajar karena merasa perlu punya pemasukan tetap agar bisa meneruskan aktivitas yang menjadi panggilan hatinya sejak kuliah: menulis sastra. Seperti kita tahu, royalti dari menulis tak cukup untuk hidup. […]