FOMOMEDIA – Film Budi Pekerti (2023) adalah rollercoaster masalah yang menimpa sebuah keluarga dan usaha membela diri yang selalu berubah jadi senjata makan tuan.
Film adalah media komunikasi yang paling efisien untuk menyuarakan sebuah kegelisahan yang sedang terjadi di masyarakat. Begitulah pandangan Wregas Bhanuteja dua tahun lalu, ketika merilis film pertamanya, Penyalin Cahaya (2021), yang mengangkat isu pelecehan seksual.
Pandangan itu agaknya masih bertahan. November ini, sang sutradara merilis film keduanya, berjudul Budi Pekerti. Ia kembali mengangkat keresahan yang relevan dengan situasi sosial kita, namun belum lantang tersuarakan, padahal merupakan isu genting karena sudah banyak dan akan terus memakan korban. Kali ini, ia mengeksplorasi perundungan di internet.
Keluarga yang “Sebetulnya” Kooperatif
Sejak menit pertama, layar bioskop langsung memperkenalkan kita pada Prani Siswoyo (Sha Ine Febriyanti), seorang guru BK dengan metode mengajar yang unik. Ia tidak memberi “hukuman” pada murid yang menyeleweng. Alih-alih, ia memberi mereka tugas “refleksi”, yakni aktivitas “kreatif” agar murid merenungkan konsekuensi dari tindakan mereka.
Cara mengajar itu memberi dampak besar pada banyak mantan muridnya. Reputasinya di sekolah pun terbilang bagus sampai Bu Prani direkomendasikan sebagai wakil kepala sekolah.
Promosi jabatan itu punya urgensi besar karena ia butuh kenaikan gaji. Pertama untuk membayar kontrakan. Kedua, untuk membiayai perawatan suaminya, Didit Wibowo (Dwi Sasono), yang mengidap bipolar karena usahanya selalu bangkrut, sehingga mesti bolak-balik ke psikiater.
Selain urusan kontrakan dan kondisi suaminya, keluarga Bu Prani terbilang baik-baik saja. Kedua anaknya akur dan kooperatif. Putranya, Muklas (Angga Yunanda), tengah meniti karier sebagai streamer dan mulai dilirik brand-brand lokal. Putrinya, Tita (Prilly Latuconsina), menyelingi aktivitas bermusik di band indie progresif dengan berjualan baju thrifting.
Viral yang Menjadi Aral
Singkat cerita, setelah dapat rekomendasi kue putu dari Gora (Omara Esteghlal), mantan murid yang kebetulan ditemuinya, Bu Prani mengantre membeli putu. Tiap pembeli mestinya mengambil nomor antrean. Namun, beberapa pembeli yang baru datang justru menitipkan pesanan pada yang sudah lama mengantre.
Jengkel, Bu Prani menegur salah satunya. Celakanya, “orang kota” yang ditegur itu tak tahu malu. Tak hanya ngeles, ia juga menyerang balik Bu Prani. Keributan yang lekas jadi tontonan itu menyudutkan Bu Prani, dan memaksanya pergi dengan amarah.
Seorang vlogger bule mengunggah rekaman keributan itu. Karena konteksnya tak memadai, di rekaman itu Bu Prani tampak seperti “misuh” pada si mbok penjual putu. Video itu viral sampai ditonton oleh muridnya.
Klarifikasi. Itulah yang langsung dipikirkan Bu Prani usai melihat respons netizen. Namun, Muklas meminta ibunya tak melakukan itu. Ia yakin, keviralan lain akan menenggelamkan video itu. Terlebih, yang mengenali Bu Prani cuma sedikit.
Masalahnya, yang sedikit itu mengelilingi kehidupan sehari-hari Bu Prani: teman kelompok senam, sesama guru, orang tua murid, hingga orang yayasan yang menentukan promosi jabatan.
Seperti Muklas, pihak sekolah juga meminta Bu Prani untuk diam saja, “Cukup menjawab jika ada yang bertanya”. Namun, Bu Prani geregetan. Dibantu Tita yang lebih “tegas” dibanding adiknya, Bu Prani membuat video klarifikasi.
Dukungan berdatangan, tapi hanya pada mulanya. Kini, semua orang tahu bahwa perempuan dalam video itu adalah Bu Prani. Dan netizen teramat jeli untuk menemukan inkonsistensi. Masalah yang tinggal tenggelam, lantas kembali viral, merembet ke mana-mana, hingga berlarut-larut.
Cerminkan Pemahaman Mendalam
Penulisan naskah Budi Pekerti mencerminkan pemahaman yang mendalam akan budaya pengenyahan (cancel culture). Lewat film ini, Wregas Bhanuteja, selaku sutradara sekaligus penulis naskah, memperlihatkan dirinya sebagai pengamat sosial yang teliti.
Kita tahu, di luar risetnya, Wregas pernah menjadi korban cancel culture. Perilisan film panjang perdananya di Netflix, yang digadang-gadang dapat sambutan besar, justru ramai kena cancel. Pasalnya, salah satu penulis naskah Penyalin Cahaya kena spill sebagai pelaku kekerasan seksual.
Wregas kena imbas. Ia mengunggah pernyataan. Beberapa orang memuji ketegasannya, namun banyak netizen tetap mengecamnya, menuduhnya sengaja menutup mata.
Terlepas dari benar-tidaknya tuduhan netizen, pengalaman dari merilis film pertama itu jelas melatari banyak gagasan di film ini. Salah satunya, bahwa praktik pengeyahan di media sosial, yang mestinya adalah gerakan menciptakan keadilan, kerap kali bukan dimotori oleh keinginan mencapai solusi. Melainkan, oleh keinginan memuaskan ego: baik ego untuk mengikuti arus (sekadar terlibat dalam kerumunan) ataupun memperderas arus (mencari atau membagikan “temuan” yang makin memvalidasi tindakan pengenyahan).
Bagi Netizen, Reputasi Buruk itu Menular
Pada masa sebelumnya, media yang umum dikonsumsi untuk menikmati drama adalah pementasan teater, bacaan, siaran radio, hingga tontonan di teve maupun bioskop. Pada tiap medium, audiens tak bisa mencurahkan kejengkelannya pada si jahat. Kita mesti bergantung pada alur atau tokoh lain dalam cerita untuk memberi si jahat pelajaran.
BACA JUGA:
Batasan itu dienyahkan media sosial. Internet menawarkan drama interaktif yang betul-betul kisah nyata. Tak seperti penonton sinetron yang teriak-teriak sendiri, netizen bisa berinteraksi dengan aktor-aktor dalam drama media sosial: mendukung si baik dan, terutama, mencecar si jahat. Tak perlu menunggu lagi, kita bisa memberi pelajaran sendiri. Targetnya: reputasi.
Budi Pekerti memperlihatkan betapa menyakitkannya perusakan reputasi. Kehancuran reputasi Bu Prani bukan hanya merugikan dirinya, tapi juga orang-orang yang berhubungan dengannya. Menjalin relasi dengan orang bereputasi buruk membuat reputasimu ikut buruk (guilt by association). Walau sebenarnya reputasi buruk itu semu semata, dibanding ikatan dan karakter baik yang “nyata tapi tak tampak di dunia maya”.
Wregas menggambarkan hal ini dengan cara yang mengejek banyak pihak sekaligus. Ia memunculkan sosok ketua LSM yang mendeklarasikan Bu Prani sebagai inspirasinya. Namun, begitu reputasi buruk sang guru mencoreng namanya, ia tak sudi untuk bahkan sekadar menemui.
Reputasi adalah aset penting di mana pun. Namun, peribahasa “nila setitik rusak susu sebelanga” berlaku ekstrem di rimba maya. Banyaknya pengaruh baik Bu Prani tak akan dianggap selama rekam jejaknya meliputi satu hal yang “tak bisa ditoleransi” oleh netizen yang banyak dan beragam itu.
Lingkaran Setan Itu Bernama Klarifikasi
Budi Pekerti mengikuti tradisi penceritaan di mana tokohnya mengambil rentetan keputusan yang keliru, macam The Old Man and the Sea karya Ernest Hemingway. Cerita film ini tak akan ada jika Bu Prani mendengarkan Muklas ataupun pihak sekolah, agar tak membuat klarifikasi.
Wregas paham betul, klarifikasi adalah lingkaran setan yang menjerat korban perundungan di internet. Kata cancel pada cancel culture, secara harfiah bermakna “pembatalan”. Gerakan pengenyahan, idealnya, dilakukan untuk “membatalkan” pengaruh dari sosok atau kelompok yang mengkampanyekan pandangan problematik. Ini gerakan massa untuk memperjuangkan nilai-nilai kolektif dengan melemahkan pihak-pihak berpengaruh besar yang membawa nilai-nilai bertentangan.
Karena itu pada mulanya kita mengira bahwa syarat terkena cancel ialah punya pengaruh besar. Yang punya follower banyak, bisa dilemahkan dengan ramai-ramai meng-unfollow. Namun pada praktiknya, korban cancel bukan hanya orang terkenal, tapi juga orang biasa seperti Bu Prani.
Budi Pekerti mendemonstrasikan bahwa syarat kena cancel bukan lagi influence, melainkan keviralan. Sebagai guru, bahkan calon wakil kepala sekolah, Bu Prani jelas punya pengaruh di sekolah. Namun, ia bukan dienyahkan oleh murid-murid dan guru lain yang berinteraksi dengannya, melainkan oleh wali murid dan netizen—yang hanya tahu sefragmen kecil informasi tentang dirinya, dan bahkan tak terpengaruh oleh “tindakan buruk” Bu Prani.
Orang-orang merundung Bu Prani, seakan sebagai solidaritas pada “korban” Bu Prani. Namun, mereka tak benar-benar peduli pada apa yang sebetulnya dibutuhkan oleh si “korban”. Pengenyahan mereka bukan digerakkan oleh prinsip, tapi oleh informasi demi informasi yang menentukan siapa salah, siapa benar.
Senjata Makan Tuan
Informasi penentu itu muncul lewat keviralan. Bu Prani memang viral karena kecelakaan, tapi ia memperparahnya dengan klarifikasi. Membuat klarifikasi membuat seseorang terekspos lebih luas, membuat semakin banyak orang ingin menggali lebih dalam hingga ke informasi yang tak relevan tapi berpotensi membuat lebih viral.
Konon, cara terbaik menghadapi perundungan karena viral adalah diam sampai suasana lebih tenang. Benar kata pihak sekolah, sosok seperti Bu Prani tak punya kewajiban untuk melakukan klarifikasi, sebab masalah yang menimpanya bisa diselesaikan secara “diam-diam”.
Klarifikasi sebenarnya baru wajib jika menyangkut hajat hidup orang banyak. Misalnya, perusahaan yang mesti bertanggung jawab dengan karyawan dan kliennya. Atau influencer bila tindakannya berisiko mencoreng brand yang bekerja sama dengannya. Klarifikasi untuk sekadar memperbaiki citra diri, mudah berbalik jadi senjata makan tuan.
Melatih Empati
Keistimewaan Budi Pekerti tidak berhenti pada kejeliannya menangkap fenomena sosial. Di tengah kecenderungan sosial untuk main hakim sendiri di rimba sosial, film ini juga menempatkan diri secara tepat, yakni pada posisi yang empatik.
Kala media sosial membuat kerumunan netizen terobsesi pada kesempurnaan, Wregas menghadirkan tokoh-tokoh yang manusiawi. Mereka jauh dari sempurna, mengambil keputusan-keputusan problematik. Namun, mereka tak melakukannya dengan niat merugikan siapa pun. Niatan mereka bahkan baik.
Sifat manusiawi itu menubuh pada setiap aktor dalam film ini. Aktor-aktor yang bukan orang Jawa pun bisa menampilkan diri secara natural dalam melemparkan dialog berbahasa Jawa.
Dwi Sasono sangat meyakinkan sebagai pengidap bipolar. Prilly tampil sangat berbeda dengan diri aslinya, sebagai perempuan cuek dengan tatapan intens. Angga, sebagai “jamet paling bening” pun sukses berlagak bak “mas-mas jawa” pada umumnya.
Tentu, Sha Ine Febriyanti tampil paling mencolok dengan menubuhkan sosok Bu Prani yang serbasalah dan terus menimbun emosi dari adegan ke adegan, tapi selalu berpegang pada prinsip. Aktingnya di pengujung film memperlihatkan pertumbuhan karakter yang subtil. Karena dialah, cerita kekalahan keluarga Bu Prani tetap akan terkenang sebagai kisah kemenangan.
Budi Pekerti memperlihatkan bahwa menonton film tetap bisa menjadi exercise of empathy, sekalipun media sosial telah menawarkan drama yang interaktif. Media sosial cenderung mendorong orang untuk reaktif. Sebaliknya, film semacam ini berupaya memosisikan penontonnya di atas sepatu para tokoh, untuk memahami dan menerima bahwa manusia, setaksempurna apa pun di mata kerumunan, punya hidup yang layak dijalani dengan tenang.
Penulis: Ageng
Editor: Yoga
Ilustrator; Salsa