FOMOMEDIA – Masyarakat ekonomi kelas menengah semakin meningkat, seiring semakin berkurangnya jumlah masyarakat miskin. Akan tetapi, kondisi ini membuat bayang-bayang middle income trap semakin menghantui, terkhusus bagi kaum milenial.
“Kerja sampai tipes, kaya juga enggak!”
Sepenggal kalimat keluhan yang biasa disampaikan oleh anak muda yang mengklaim dirinya sebagai “budak korporat”, baik secara langsung saat bercanda dengan rekannya, maupun ketika curhat di media sosial.
Kata-kata itu sebenarnya tidak berhenti pada konteks ungkapan, tetapi, lebih dalam lagi, kalimat itu bisa menjadi gambaran kondisi kaum muda di Tanah Air saat ini. Yakni, gambaran kehidupan kelas menengah yang kini tengah bertumbuh pada grafik data status sosioekonomi di Indonesia.
Menurut data World Bank tahun 2020, Indonesia saat ini memiliki pertumbuhan kelas menengah yang sangat pesat. Ada sekitar 52 juta kelas menengah atau sekitar 20 persen dari total populasi saat ini. Sedangkan, rombongan yang sedang menuju kelas menengah ada sekitar 115 juta atau sekitar 45 persen.
Kata World Bank, hal ini terjadi karena selama 50 tahun terakhir Indonesia dapat mempertahankan pertumbuhan PDB (Pendapatan Domestik Bruto) tahunan rata-rata di angka 5,6 persen, pertumbuhan ekonomi yang kuat, serta penurunan angka kemiskinan ekstrem. Walhasil, kita telah sampai pada level di mana negara ini dapat disebut sebagai upper-middle-income country.
Pencapaian yang baik, memang. Apalagi, sekitar 80 persen dari masyarakat miskin pada tahun 1993 sudah melepas status tersebut sejak tahun 2014. Terlebih lagi, kelas menengah Indonesia menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi yang telah tumbuh sebesar 12 persen setiap tahun sejak 2002, dan saat ini mewakili hampir setengah dari seluruh konsumsi rumah tangga di Indonesia.
Akan tetapi, pertumbuhan jumlah kelas menengah secara signifikan tanpa adanya strategi dan upaya pelebaran kanal-kanal menuju kelas berikutnya yang lebih tinggi dapat berdampak negatif. Hal ini malah dapat menjadi bom waktu bagi negara ini hingga kita dapat terjebak dan bahkan terjerembab. Fenomena ini sering dikenal dengan istilah middle income trap, atau jebakan pendapatan kelas menengah.
Middle income trap, dalam definisinya, adalah suatu kondisi stagnasi yang menjadikan suatu negara kesulitan untuk meningkatkan pendapatan per kapitanya. Istilah ini pertama kali dibahas oleh World Bank dalam publikasi berjudul An East Asian Renaissance: Ideas for Economic Growth tahun 2007 silam yang membahas pertumbuhan pesat negara-negara di Asia Timur dan potensi efek samping dari fenomena tersebut.
Berdasarkan laporan hasil riset yang dilakukan oleh Allianz yang berjudul “The middle-income trap: inequality across countries after Covid-19”, setidaknya, ada 10 negara yang telah terjebak dan akan terjebak di dalam middle income trap selama periode 1950-2029 dengan atau tanpa Covid-19. Negara-negara itu antara lain adalah Argentina, Bulgaria, Kolombia, Kroasia, Yunani, Laos, Nigeria, Slovakia, Trinidad & Tobago, dan Uruguay.
Selain negara-negara yang dinyatakan telah dan akan terjebak di dalam status penghasilan kelas menengah, riset tersebut juga memaparkan beberapa negara yang telah telah berhasil melaluinya. Antara lain Arab Saudi, Korea Selatan, Portugal, Polandia, Czechia, Bahrain, dan lainnya. Namun, ada juga negara yang sebenarnya telah berada di posisi high income countries, tetapi mundur dan kembali terjebak di dalam middle income status seperti Yunani, Rusia, Oman, dan lainnya.
Indonesia sendiri telah jatuh-bangun berupaya untuk keluar dari ceruk status kelas menengah. Pada 10 Februari 2020, Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) memasukkan Indonesia ke dalam daftar negara maju. Selanjutnya, diikuti dengan status Indonesia di World Bank dari Lower Middle Income Country menjadi Upper Middle Income Country di 1 Juli 2020 yang hanya bertahan berapa hari dan mundur kembali ke status sebelumnya pada 7 Juli 2020.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, setidaknya ada tiga dampak buruk dari merosotnya Indonesia kembali pada status negara pendapatan menengah bawah. Pertama, peluang Indonesia untuk menjadi negara maju akan lebih sulit karena prosesnya yang mundur ke belakang. Kata Bhima, kemungkinan Indonesia akan terjebak dalam pendapatan kelas menengah dalam kurun waktu 25 tahun ke depan.
Kedua, serapan tenaga kerja akan lebih sulit karena bonus demografi dari anak-anak muda yang siap kerja tak tertampung oleh lapangan pekerjaan yang terbatas. “Sekarang Indonesia sudah menjadi negara dengan pengangguran usia muda tertinggi. Salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara,” katanya.
Terakhir, kata Bhima, negara ini menjadi kurang diminati oleh para investor untuk menanamkan modal besar dan jangka panjang. Walhasil, kita akan lebih banyak bergantung pada utang luar negeri yang malah menimbulkan efek samping lain.
Pada fenomena middle income trap ini, generasi muda, terkhusus generasi milenial, harusnya yang paling khawatir. Berdasarkan studi the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), saat ini tengah ada tren penurunan kelas menengah di negara-negara kaya di dunia, dan generasi muda adalah korban utamanya.
Dalam studi tersebut, ditemukan hanya ada sekitar 60 persen jumlah milenial yang menyandang status kelas menengah. Jumlah tersebut tak mampu mengimbangi apalagi lebih besar dari pada generasi baby boomer yang mencapai 70 persen. Selain itu, masalah tersebut juga tergambar dalam stagnasi rata-rata pendapatan kaum muda. “Upah hanya tumbuh rata-rata 0,3 persen per tahun antara 2007 dan 2017, dibandingkan dengan pertumbuhan lebih tiga kali lipat pada tahun 1980-an dan 1990-an.”
Belum lagi, OECD juga mengungkapkan bahwa saat ini ada lebih dari 20 persen rumah tangga berpenghasilan menengah yang pengeluarannya lebih banyak daripada penghasilan. Hal tersebut membuat generasi muda menanggung lebih banyak utang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan semakin sulit untuk memiliki rumah pribadi.
Kata Direktur Eksekutif the Economic Hardship Reporting Project, Alissa Quart, pemerintah dan sistem adalah objek yang paling pantas untuk disalahkan dengan fenomena yang tengah berlangsung ini. Dalam sebuah wawancara di CNBC Make it tahun 2018, dia pernah berkata, “Untuk anak muda khususnya yang sedang berjuang, berhenti menyalahkan diri sendiri dan mulailah menyalahkan sistem, atau mulai menyalahkan penyebab yang lebih dalam dari kerapuhan dan ketidakstabilan ekonomi Anda.”
Menurut Alissa, ada sistem yang dibangun oleh pemerintah seperti pajak yang terlalu tinggi, harga yang mahal, dan lain sebagainya yang membebani generasi muda untuk terlepas dari jebakan pendapatan kelas menengah.
Kendati begitu, generasi milenial Indonesia sebaiknya tak hanya menyalahkan sistem dan pemerintah yang memang belum paripurna dalam menyelesaikan permasalahan ini. Sebaiknya, anak muda juga perlu bergerak mencari dan menjadi solusi agar secara diri pribadi dan negara ini dapat lolos dari lilitan jebakan pendapatan kelas menengah.
Lagi pula, waktu kita untuk terus bergerak agar keluar dari jebakan status pendapatan kelas menengah tak lama lagi. Kemenko Perekonomian menyatakan bahwa Indonesia hanya punya waktu sampai 2035 untuk dapat keluar dari middle income trap. “Kalau kita tidak bisa keluar dari middle income trap dalam 12-14 tahun ke depan, maka sebetulnya kita akan kehilangan kesempatan itu,” kata Tim Asistensi Menko Perekonomian, Raden Pardede.
Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, pernah memaparkan, ada lima kunci agar Indonesia dapat melepas jerat pendapatan kelas menengah dan menuju ke level selanjutnya sebagai negara berpenghasilan tinggi. Kelima kunci tersebut adalah: transformasi sumber daya manusia (SDM), transportasi sistem pendidikan, transformasi jaring pengaman sosial, transformasi ekonomi, dan transformasi institusi.
Kelima poin transformasi di atas, dalam banyak diskursus yang kerap kita jumpai dalam pemberitaan, seminar, diskusi, dan sebagainya, selalu diasosiasikan dengan transformasi melalui sistem digital. Ketika sudah masuk dalam konteks digitalisasi, generasi muda, sebagai the golden stock yang akan meneruskan estafet bangsa ini ke depan, sering ditunjuk untuk menjadi pemeran utama.
“Kamu ‘kan anak muda, harusnya lebih paham digital dong!” begitu kata generasi sebelumnya yang terlihat seolah sambil menyodorkan tumpukan PR dan tanggung jawab yang mereka emban.
Padahal, untuk mewujudkan semua transformasi yang disebutkan oleh Sri Mulyani di atas, semua pihak wajib terlibat. Tak bisa hanya serta merta diserahkan ke generasi muda yang kerap dicap dengan istilah “generasi milenial” (walaupun sebenarnya sudah ada yang lebih muda dari milenial).
Pemerintah, baik eksekutif dan legislatif, diharapkan mampu merancang dan menetapkan suatu sistem yang berpihak dan mampu mendorong generasi muda untuk bertransformasi. Selain itu, pemerintah juga perlu menciptakan berbagai program kerja yang berdampak positif bagi terwujudnya berbagai macam transformasi tersebut. Intinya, kelima jenis transformasi baik sumber daya manusia (SDM), sistem pendidikan, jaring pengaman sosial, ekonomi, dan institusi, kunci utamanya dipegang oleh pemerintah.
Selanjutnya, dunia pendidikan, sebagai lumbung untuk menciptakan transformasi SDM dan sistem pendidikan merupakan bagian dalam mewujudkan transformasi tersebut. Penyesuaian sistem pendidikan dan lainnya yang lebih tepat guna dengan perkembangan teknologi dan dunia kerja adalah keniscayaan. Para pengajar tak bisa lagi memaksakan prinsip lamanya, tanpa ada inovasi yang berorientasi pada transformasi SDM dan sistem pendidikan.
Dunia usaha juga tak terlepas dari tanggung jawab ini. Menciptakan lapangan pekerjaan yang memberi dampak positif bagi pengusaha dan pekerja yang berkelanjutan harus menjadi tujuan utama. Dunia kerja juga diharapkan menjadi pabrik produksi SDM unggul dengan nilai tinggi dan juga mampu menelurkan pengusaha-pengusaha baru yang lebih masif.
Terakhir, generasi muda, sebagai tokoh utama dalam cerita Indonesia di masa depan, sebaiknya tak lengah dan melewatkan peluang dan kesempatan. Mendorong diri dengan berbagai sistem, program, dan fasilitas yang telah disediakan baik oleh pemerintah, dunia pendidikan, serta dunia usaha untuk meningkatkan kapasitas diri harus dilakukan. Jadi, dengan adanya kolaborasi konsep dan eksekusi dari berbagai pihak di atas, diharapkan peluang Indonesia untuk terlepas dari jebakan kelas menengah lebih mungkin untuk terjadi.
Penulis: Irwan
Editor: Yoga
Ilustrator: Vito
The point of view of your article has taught me a lot, and I already know how to improve the paper on gate.oi, thank you. https://www.gate.io/pt-br/signup/XwNAU