FOMOMEDIA – Buat kamu Gen Fomo pecinta buku karya penulis Tanah Air, berikut kami rangkum 5 buku Indonesia terbaik yang bisa kamu nikmati sebelum tahun berganti, atau mungkin tahun depan.
2022 bisa disebut sebagai tahun kebangkitan bagi dunia kepenulisan Indonesia. Sebab, tahun ini penerbitan buku mulai marak kembali seiring dengan terkendalinya pandemi COVID-19.
Ketika pagebluk sedang parah-parahnya, dunia kepenulisan dan perbukuan ikut kolaps. Penjualan buku turun drastis sampai minus 72,40 persen. Bahkan, beberapa toko buku fisik seperti Togamas Solo dan Kinokuniya Plaza Indonesia sampai kudu gulung tikar.
Kendati demikian, para penulis Indonesia tak patah arang. Situasi memang sulit, tetapi masih banyak penulis yang terus berupaya melahirkan karya terbaik. Oleh karena itu, daftar ini kami buat untuk mengapresiasi mereka.
Penempatan urutan judul buku tidak dimaksudkan mana yang paling bagus. Sehingga, posisi pertama bukan berarti lebih bagus ketimbang yang empat lainnya.
Ini rekomendasi dari kami, yang tentunya kalian bisa pertimbangkan, mana yang cocok buat kalian atau tidak ada sama sekali. Siapa tahu, saat jalan-jalan di toko buku luring atau skrol judul buku di toko daring, kalian berminat dengan lima rekomendasi ini.
Na Willa dan Hari-hari Ramai – Reda Gaudiamo
Perdebatan sastra anak dan bukan di Indonesia masih berlangsung hingga kini. Contoh perdebatannya: “disebut sastra anak jika ditulis oleh penulis anak” atau “penulis dewasa yang melahirkan cerita tentang semesta anak”.
Seolah dua hal tersebut berada di dua kutub yang tidak akan ketemu simpulnya. Hal inilah yang membuat resah seorang pengarang asal Sumenep, Jawa Timur, Sayyidatul Imamah.
Dalam tulisanya di Jurno.id, Dayuk—nama panggilan Sayyidatul Imamah—menulis kegelisahannya perihal sastra anak yang tidak mendapatkan tempat yang baik ketimbang karya sastra lainnya.
Menurutnya, “Sastra anak di Indonesia selalu diidentikkan dengan dongeng-dongeng lama. Semasa kecil, anak Indonesia tumbuh dengan cerita rakyat yang didaur ulang terus-menerus. Bahkan, ketika teknologi menjadi sangat canggih dan segala cerita bisa dibaca di media elektronik, cerita di sastra anak masih begitu-begitu saja. Hal itu menunjukkan bahwa sastra anak di Indonesia dianggap rendahan, remeh, dan terpinggirkan.”
Beda hal kalau kita melihat karya sastra anak dari luar, seperti karya Enid Blyton dan Roald Dahl yang menghadirkan kisah petualangan di hutan-hutan, di luar angkasa, dan kisah imajinatif lainnya.
Di Indonesia, kita juga punya beberapa penulis yang sempat menulis sastra anak, yakni Arswendo Atmowiloto dan Djokolelono. Namun, siapa yang baca karya mereka di tengah gempuran platform video, YouTube dan TikTok, sekarang?
Walau tidak banyak dan belum semeriah genre lain, kita bisa menyebut beberapa penulis yang menghadirkan kisah petualangan yang imajinatif kepada pembaca. Misalnya, Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, Abinaya Ghina Jamela, Okky Madasari, dan Reda Gaudiamo.
Nama yang terakhir, Reda, beberapa tahun terakhir telah menjadi idola baru di dunia sastra anak Indonesia. Lewat karya-karyanya, Aku, Meps, dan Beps hingga serial Na Willa, nama Reda Gaudiamo mendapatkan tempat yang baik di hati pencinta sastra anak.
Pada tahun 2022, Reda menerbitkan buku baru, Na Willa dan hari-hari yang ramai yang merupakan buku ketiga dari serial Na Willa. Seperti buku pertama dan keduanya, buku ketiga ini masih berpusat pada kisah Na Willa, yang penuh kepolosan, ceria, tapi menghangatkan. Bedanya, jika di buku pertama dan kedua, Na Willa dikisahkan sebagai anak usia prasekolah, sementara buku ketiga ini Na Willa dikisahkan telah duduk di bangku sekolah dasar, tinggal di kota baru, menemukan teman baru, anjing baru, dan hal baru lainnya.
Berbagai hal baru yang muncul dalam semesta kehidupan Na Willa di buku ini menghadirkan konflik, alur cerita, perkembangan karakter Na Willa yang meski tetap menggemaskan, tapi lebih kompleks.
Misalnya, ketika Na Willa bernegosiasi dengan Mak untuk membawa serta mengurus Dulu Kelabu—anjing kampung yang ditemukannya sesaat sebelum dia, Mak, dan Pak pindah ke rumah kontrakan baru mereka. Atau, saat Na Willa menganggap adik-adiknya membuat Mak memiliki kerepotan baru, interaksinya dengan keluarga Teddy dan Tony—teman-teman barunya, atau kehadiran cerita-cerita spin-off dari karakter yang semakin riuh di hari-hari Na Willa yang ramai.
Meski Na Willa dan hari-hari yang ramai dibanderol sebagai buku anak, cerita-cerita di dalamnya tetap dapat dinikmati semua orang, semua generasi, termasuk orang dewasa—selagi kita gak buta baca, ya.
Celotehan Na Willa yang polos, relasi dengan orang-orang di sekitarnya, atau konflik pada karakter yang lain di kehidupannya, kerap menguarkan kenangan masa kanak-kanak kita. Ceritanya yang ringan juga cocok dibaca bagi mereka yang butuh jeda dari rutinitas pekerjaan.
Serial ini diterbitkan oleh Penerbit Post Santa—yang juga toko buku di Pasar Santa—pada 2022. Di tengah gelapnya sastra anak Indonesia, Na Willa bisa menjadi damar kecil untuk dijadikan referensi bacaan kepada anak atau keponakan atau untuk kita sendiri.
Walaupun begitu, orang tua semestinya menyediakan ragam buku anak sehingga sang anak punya pilihan, mana yang cocok bagi mereka. Sebab, mengutip ucapan Neil Gaiman di The Guardian, “Biarkan saja anak-anak membaca apa yang mereka sukai.”
Kereta Semar Lembu – Zaky Yamani
Sejak memenangi sayembara novel DKJ 2021, naskah Kereta Semar Lembu karya Zaky Yamani menjadi pembicaraan di kalangan sastrawan. Apakah naskah ini membawa kesegaran dan keunikan (alih-alih menyebut kebaruan sebab tidak ada yang baru di bawah matahari yang sama)?
Dewan juri sayembara DKJ mempunyai alasan sendiri kenapa memenangkan naskah ini. Menurut mereka, “Kereta Semar Lembu memiliki gagasan yang unik dan dikembangkan menjadi cerita dengan karakter, plot, dan sudut pandang yang tak biasa dan kaya rincian. Dengan memanfaatkan pendekatan surealis, karya ini mengelaborasi sejarah hingga beragam mitos yang tumbuh dalam masyarakat plural.”
Dikisahkan seorang tokoh bernama Lembu yang mayatnya berada di tepi rel kereta api, yang sudah 50 tahun belum dikuburkan selayaknya mayat yang ada di pemakaman.
Mayatnya masih berada di samping rel tersebut. Dia sudah berusaha memberi tanda-tanda kepada manusia agar menemukan jenazahnya, tetapi tanda-tanda itu tidak dipahami oleh manusia.
Oleh sebab itu, Lembu memantapkan diri untuk menerima nasibnya berada di rel kereta api sampai akhir zaman. Namun, pada suatu ketika, rel di tempat mayat Lembu berada mengalami kerusakan. Sehingga, para pegawai kereta harus memperbaikinya. Mereka melakukan penggalian tanah yang cukup dalam. Akhirnya, para penggali menemukan jerangkong milik Lembu.
Penemuan kerangka tersebut, akan menjadi awal perjalanan Lembu ke alam baka. Sebelum keberangkatannya, arwah-arwah lintas generasi dari tahun 1998, 1965, era revolusi, VOC, Perang Diponegoro, masa Sultan Agung, Demak, Majapahit, Singasari, sampai sebelum pembangunan Borobodur hadir untuk melepas arwah Lembu.
Di momen berkumpul ini, Lembu berkisah tentang hidupnya. Dari sini pembaca pelan-pelan disuguhi puzzle sejarah Indonesia. Jelas buku terbitan Gramedia Pustaka Utama ini bukan novel sejarah, tapi “karya ini mengelaborasi sejarah”.
Zaky tidak kali ini menulis buku. Sebelumnya, dia sudah menulis beberapa karya sastra, misalnya, Bandar: Keluarga, Darah, dan Dosa yang Diwariskan (2014), Waktu Helena (2020), dan Perjalanan Mustahil Samiam dari Lisboa (2021).
Kalau kalian punya preferensi terhadap karya novel surealis, buku ini bisa menjadi satu pilihan di akhir tahun atau di awal tahun 2023.
Akhir Penjantanan Dunia – Ester Lianawati
“Pada mulanya adalah perempuan,” begitu kata filsuf Prancis Olivia Gazale yang dijadikan subbab oleh Ester Lianawati dalam buku terbarunya, Akhir Penjantanan Dunia.
Ya, kalimat Gazale tersebut seakan memutarbalikkan sejarah manusia dalam agama samawi bahwa permulaan penciptaan manusia tertuju kepada Adam yang notabenenya seorang laki-laki. Menurut Ester, “Jika Hawa dilahirkan dari Adam seperti tercatat dalam kitab-kitab suci, kenyataannya kromosom Y berada dari kromosom X.”
Itu salah satu dari banyak alasan yang Ester utarakan perihal perempuan yang seharusnya tidak pada posisi kedua dari laki-laki di dalam bukunya yang terbit pada Oktober 2022 melalui EA Books ini. Misalnya, Ester juga membahas sejarah panjang awal mula dominasi laki-laki terhadap perempuan; pandangan kita perihal perempuan yang menjadikannya objek—alih-alih subjek; dan menguliti kejantanan laki-laki.
Di era teknologi kiwari, kita banyak melihat kekerasan di media digital, baik fisik maupun nonfisik, pada perempuan. Kadang kekerasan tersebut dianggap lumrah. Kekerasan itu juga terjadi pada laki-laki, dan kerap muncul komentar orang, “Kamu kayak perempuan saja, tidak berani melawan.”
Itu semua terjadi karena budaya patriarki yang mengakar di segala aspek kehidupan. Budaya patriarki ini tidak saja merasuki alam pikiran laki-laki, tetapi juga dalam pikiran perempuan. Mengapa itu terjadi? Karena itulah yang diajarkan oleh orang tua, negara, budaya, sosial, dan masyarakat umum yang sudah menahun.
Maka dari itu, untuk meretas budaya patriarki ini, mesti ada pedoman yang dipegang, misalnya, pemahaman feminisme—walau tidak mudah. Tidak saja perempuan yang harus memahami feminisme, laki-laki pun harusnya mengambil bagian.
Ester Lianawati mengklaim bahwa peran feminis sangat penting dalam kehidupan sehari-hari kita saat ini. Sebab, tanpa feminis, perempuan tidak mengakses pendidikan, tidak bisa memilih presiden, tidak bisa menabung di bank, tidak dibolehkan mengendarai mobil, bahkan sekadar untuk keluar rumah.
Sebelumnya, Ester Lianawati telah menulis satu buku Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan (EA Books, 2020) tentang feminisme, yang juga berupaya meretas budaya patriarki. Kami kira buku Akhir Penjantanan Dunia membuka lanskap pengetahuan kita semua perihal bagaimana feminis bekerja.
Sebab, menurut Ester, “Laki-laki bisa menjadi pelaku terhadap perempuan dan laki-laki. Perempuan bisa menjadi korban dari laki-laki dan perempuan. Laki-laki bisa menjadi korban dari laki-laki dan perempuan. Perempuan bisa menjadi pelaku terhadap perempuan dan laki-kaki. Pendeknya, dalam budaya patriarki laki-laki dan perempuan sama-sama bisa menjadi pelaku dan korban.”
Jadi, feminis tidak saja membebaskan perempuan, tetapi juga laki-laki.
Tutur Dedes – Amalia Yunus
Apa yang tersisa dari ingatan kita tentang kisah Dedes dan Angrok?
Dua sosok tersebut yang menjadi tokoh sentral dalam berdirinya Kerajaan Tumapel, yang akhirnya lebih dikenal sebagai Kerajaan Singasari. Kerajaan ini berdiri tidak lewat perpindahan kekuasan yang damai, tetapi lewat sebilah keris.
Angrok yang awalnya bukan bagian kerajaan dipanggil untuk menjadi pengawal raja bernama Tunggul Ametung. Sang pengawal ini ingin membunuh Ametung saat mulai jatuh hati kepada selir raja yang bernama Dedes.
Ketika itu, Angrok secara tidak sengaja melihat kain Dedes terbuka ketika turun dari kuda di taman. Tebersitlah keinginan memiliki Dedes. Dan dari situlah pula, Angrok sadar bila kemauan itu dituruti, maka yang dia hadapi adalah tembok besar nan kuasa, yakni sang raja sendiri.
Di situlah siasat untuk membunuh Tunggul Ametung direncanakan. Singkat cerita, Angrok berhasil membunuh Tunggul Ametung menggunakan keris buatan Mpu Gandring—yang nantinya keris ini akan membayang-bayangi masa depan Angrok.
Kisah Dedes dan Angrok ini berasal dari kitab Pararaton yang telah banyak diceritakan ulang oleh segudang kreator, tak terkecuali oleh para sastrawan. Pramoedya Ananta Toer menulis novel dengan judul Arok Dedes (1999). Karya ini lebih mengutamakan Ken Angrok, sedangkan porsi Dedes masih sedikit.
Jikalau pembaca menginginkan kisah yang berasal dari sudut pandang Ken Dedes, kami merekomendasikan novel baru berjudul Tutur Dedes yang terbit pada Maret 2022. Novel yang diterbitkan baNANA ini ditulis oleh Amalia Yunus.
Amalia berhasil menghadirkan cerita dari sudut pandang Ken Dedes. Sering kali, tokoh ini hanya diperlakukan sebagai objek, tapi Amalia memunculkannya sebagai subjek, yang mampu menggerakkan sejarah Kerajaan Tumapel.
Dedes memang diculik oleh Ametung di desa kecilnya, tapi di kemudian hari dialah yang memiliki peran penting di dalam kerajaan. Dengan bahasa ringan dan kalimat yang sederhana, Amalia seperti mendongeng di tengah malam.
Amalia tampak tidak main-main dalam mengeksplorasi ceritanya. Kalau di kitab Pararaton laki-laki yang mendominasi, maka Tutur Dedes berangkat dari mata perempuan.
Bertemu Belalang – Gody Usnaat
Mungkin dalam pengalaman pembacaan kalian, puisi tidak jauh-jauh dari tema cinta, atau kalau ada puisi perjuangan, mungkin kalian akan mengingat dua nama seperti W.S. Rendra dan Widji Thukul. Namun, sejarah puisi Indonesia tidak melulu tentang cinta, dan sudah berjalan jauh—alih-alih menyebut “berlari”—mencari bentuk yang ideal bagi para kreatornya.
Sang kreator, dalam hal ini penyair, telah banyak melakukan eksplorasi bentuk dan tema. Dan itu bisa terlihat dalam keberagaman puisi Indonesia pada dua dekade terakhir.
Eksplorasi tema itu dihadirkan oleh Gody Usnaat dalam buku terbarunya, Bertemu Belalang, yang diterbitkan oleh Jual Buku Sastra pada Februari 2022. Naskah buku ini masuk “Naskah yang Menarik Perhatian Juri” Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2021.
Pengakuan dewan juri DKJ bahwa puisi-puisi Gody menghadirkan metafora baru karena mengambil beberapa ungkapan khas dari khazanah budaya setempat.
Kami kutip secara verbatim teks pertanggungjawaban Dewan Juri Sayembara Manuskrip Puisi DKJ 2021:
“Manuskrip 130 berjudul ‘Bertemu Belalang’ berusaha menyusupkan sejumlah kosakata Melayu-Papua. Penyairnya tampak lancar mengolah kekhasan alam dan latar kehidupan masyarakat Papua, walau ada juga puisi-puisi yang ditulis di luar Papua, yang menandakan mobilitas si penyair dan usahanya melakukan penjelajahan tematik. Ada ungkapan-ungkapan khas yang diambil dari khazanah budaya setempat, menjadikan metafora yang dihadirkan tampak baru dan menarik.”
Misalnya, dalam puisi “Pulang Sekolah”. Gody menulis seperti ini: sore singgah dan di bawah naungan pohon ketapang, / kami duduk di pundak batu, / serasa berada di puncak gunung sakral nenek moyang / kami buka buku, belajar baca, tulis dan hitung lalu merenung / merenung seperti bapak dan mama mamah sirih pinang / bikin lidah dan bibir merah dan kuat ini gigi.
Gody juga menghadirkan realitas kehidupan masyarakat Papua dengan jujur, tanpa memoles untuk menutupi hal tertentu. Kita bisa lihat realitas tersebut dalam larik puisi “Cita-cita”.
setiap pagi ia pergi ke sekolah
seperti berjalan di atas dahan gomo yang rapuh
kelas tanpa guru
tapi ia selalu belajar baca, dan tulis,
dan hitung dan menyalin cerita.
atau dalam puisi “Sebelum Pulang Rumah”
sebelum pulang ke rumah seperti kura-kura,
berenang tenang menyeberang ke tepi
kami makan papeda dan lauk ikan kuah kuning
pondok beratap daun sagu
serasa rumah makan mewah
Gody dekat beberapa frasa yang ia tulis, seperti “anak sekolah”, “baca-tulis”, “makan papeda”, dan “daun sagu”. Sebab, ia adalah seorang guru sekolah dasar di pegunungan Papua bagian barat, tepatnya di Kabupaten Keerom, Provinsi Papua. Sehari-hari ia bercengkerama dengan murid-muridnya.
Dari pergulatan dengan para muridnya itu, sosok yang lahir di Kampung Faenono, Nusa Tenggara Timur, ini memacu dirinya untuk menyampaikan kegelisahannya lewat puisi. Mari kita daras pelan-pelan dua bait puisi “Ujian Sekolah”.
sio! kenapa kami tak punya guru?
seperti kasuari, yang setia erami telur hingga tetas
lalu jaga anaknya dari musuh
lalu melatihnya tendang batang pisang
lalu menyaksikannya kuat dan jauh berjalan
di sekolah
guru baru masuk mengajar dua hari sebelum ujian
ruang kelas macam lubang jerat
kami: anak-anak rusa terperangkap
tulis jawaban sebagaimana mama
hambur biji rica dan bayam di kebun
Cuplikan dari dua bait puisi di atas menegaskan ketimpangan infrastruktur dan sumber daya manusia yang ada di Papua. Mereka tidak punya guru. Ditambah lagi guru menjadi korban, siapa yang tembak mati kami punya guru? / tak cukupkah kalian menembaknya dengan gaji yang tak / pantas untuk hidup? (“Yesus Mati Ditembak”).
Dalam Bertemu Belalang, Gody tidak saja bercerita perihal masyarakat Papua, tetapi juga bercerita tentang bola, seperti dalam puisi “Mengenang Maradona”, “Usai Adu Pinalti”, dan “Pinalti”, dan beberapa puisi perihal di luar Papua.
Kesederhanaan, kejujuran, dan kekritisan Gody memantapkan kita agar membaca puisi-puisinya walau sepenggal. Tindakan tersebut akan membuka pengetahuan kita tentang sedikit (dari banyak) masalah Papua. Hal itu juga dia tuliskan dalam buku pertamanya, Mama Menganyam Noken (2019).
Penulis: Safar
Editor: Yoga
Ilustrator: Vito
Thank you very much for sharing, I learned a lot from your article. Very cool. Thanks.
I don’t think the title of your article matches the content lol. Just kidding, mainly because I had some doubts after reading the article.
Your point of view caught my eye and was very interesting. Thanks. I have a question for you.